Spiritualitas Galungan dalam Bayang-bayang Paradoks Modern

0
72
Galungan

Oleh:
Dr. Putu Eka Sura Adnyana
Akademisi

HARI suci Galungan merupakan salah satu perayaan yang penuh makna bagi umat Hindu di Indonesia, khususnya di Bali. Galungan bukan sekadar rangkaian upacara atau tradisi turun-temurun, tetapi sebuah momentum spiritual yang mengingatkan umat Hindu akan kemenangan dharma (kebenaran) melawan adharma (kejahatan) dengan penuh rasa bhakti dan bahagia.

Teks Sundarigama menjelaskan “Buda Kliwon Dungulan Ngaran Galungan patitis ikang janyana samadhi, galang apadang maryakena sarwa byaparaning idep”. Artinya, Rabu Kliwon Dungulan namanya Galungan. Arahkan untuk bersatunya rohani supaya mendapatkan pandangan yang terang untuk melenyapkan segala kekacauan pikiran.

Dalam suasana yang sarat dengan simbol-simbol religius seperti penjor yang menjulang tinggi dan banten yang tertata rapi lengkap dengan segala pernak-pernik hiasannya, kita diajak untuk tidak sekadar larut dalam kemeriahan, tetapi memahami makna terdalam dari setiap simbol yang ada pada perayaan suci Galungan bagi kehidupan manusia.

Baca Juga:   Adi Arnawa Buka Batanbuah Rangda Festival

Namun di balik kesakralan itu, terdapat paradoks yang tak bisa diabaikan. Perayaan yang sejatinya mengajarkan kesederhanaan dan keseimbangan justru dibayangi oleh realita modern yaitu dengan meningkatnya penggunaan plastik dalam upakara yang dapat mencemari lingkungan, kenaikan harga sarana banten yang membebani umat, serta meningkatnya kesan bahwa Galungan semakin terjebak dalam arus konsumtif dan formalitas.

Realitas perayaan modern, merayakan Galungan apakah tujuan kualitas atau kuantitas? Apakah ukuran penjor yang megah, jumlah banten yang banyak, atau pakaian serba baru yang dikenakan sudah cukup mencerminkan kesucian hari Galungan atau gengsi semata?

Yang ditekankan tentu adalah kualitas. Kualitas dalam niat bukan karena gengsi. Perayaan yang sederhana namun penuh penghayatan akan jauh lebih bermakna daripada kemewahan tanpa makna. Sebab, Tuhan tidak melihat pada bentuk luar, tetapi pada kesucian hati dan ketulusan bhakti.

Baca Juga:   Desa Adat Pecatu Juga Tiadakan Pawai Ogoh-ogoh

Karena pada akhirnya, kemenangan sejati bukanlah kemenangan yang terlihat, tetapi kemenangan batin kemenangan diri atas segala bentuk adharma dalam hidup ini. Perayaan yang suci tidak boleh meninggalkan jejak yang merusak apalagi membebani umat dan diri sendiri. Sampah bukan hanya soal lingkungan, tapi juga soal etika dan kesadaran spiritual. Jika kita merayakan kemenangan Dharma, maka menjaga alam dan lingkungan juga bagian dari dharma itu sendiri.

Kenaikan harga bahan banten, penjor, daging babi seakan-akan menjadikan Galungan ke arah perayaan yang konsumtif dan formalitas semata. Perlu disikapi dengan menjadikan momen Galungan ini sebagai ajang refleksi untuk kembali pada kesederhanaan yang bermakna, bukan kemewahan yang memberatkan.

Baca Juga:   Bhakti Penganyar di Pura Luhur Giri Salaka Alas Purwo, Ini Permohonan Bupati Buleleng

Perayaan suci Galungan hendaknya masyarakat dapat sembahyang dengan rasa bhakti, rasa syukur yang tulus ikhlas, dan sikap hidup subha karma yang mencerminkan nilai-nilai dharma. Mulailah mengutamakan kualitas bukan kuantitas dalam persembahan disertai dengan kesadaran ekologis, maka Galungan tahun ini bisa jadi titik awal perubahan menuju perayaan yang lebih bijak dan berkelanjutan “galang apadang maryakena sarwa byaparaning idep” serta mampu mengurai masalah sampah, tidak mengarah pada perilaku konsumtif dan formalitas semata.

Semoga umat Hindu senantiasa diberikan jalan yang mudah dan penuh kedamaian dalam menjalankan yadnya dan dharma. Selamat merayakan hari suci Galungan.*

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini