Sakralnya Ritual Terteran di Desa Adat Saren

0
29
Terteran
Terteran di Desa Adat Saren, Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem. (ist)

Amlapura, balibercerita.com – 

Lis dan batur menjadi dua pertanda yang disuarakan pecalang dalam mengawal pelaksanaan tradisi ritual Terteran di Desa Adat Saren. Kata lis merupakan isyarat untuk dimulainya terteran dan batur sebagai jeda. Terteran merupakan tradisi perang api yang dilaksanakan berkaitan dengan Aci Ngusaba Dalem, tepatnya 3 hari berturut-turut sebelum Ngusaba. 

Terteran di desa ini menggunakan media serabut kelapa berisi bara api yang kemudian dibenturkan ke tubuh lawan. Mengambil lokasi antara Pura Sangsega sebagai batas selatan dan Pura Jati sebagai batas utara, kaum pria dibagi menjadi 2 kutub yang berseberangan. 

Setiap pria dibagi sesuai dengan rentang umur pengayah. Mereka dengan suka cita merawat dan melestarikan tradisi yang sudah turun-temurun diwariskan oleh para leluhur desa.

Baca Juga:   Pulang Kampung ke Bualu, Ini yang Disampaikan Bupati Giri Prasta 

Pelaksanaan terteran dimulai sejak sandi kala (menjelang malam). Lampu penerangan yang ada disekitar arena dimatikan, sehingga suasana gelap dan temaram menyelimuti tradisi ini. Semakin malam, suasana akan semakin gelap sehingga antar individu tidak saling mengetahui wajah masing-masing. 

Hanya bara api yang terlihat dan suara pengayah yang terdengar. Selain mengasah ketajaman indra, diharapkan suasana ini dapat meminimalisir munculnya unsur dendam setelah terteran berakhir.

Tidak ada saudara, tidak ada musuh dalam pelaksanaan tradisi ini. Semua hanya tentang ngayah antara dua kubu utara dan selatan selaku pihak yang saling berhadapan. Kendati merupakan tradisi, namun Terteran sendiri merupakan ritual yang berkaitan dengan Ngusaba. 

Baca Juga:   Wabup Suiasa Terima Audiensi Widya Sabha Badung

Kesakralan tradisi ini sangat dijaga, baik dari unsur ego, amarah, emosi dan perilaku maupun perkataan. Karena itu, para pemain sangat penting menjaga etika, tutur kata dan sportivitas. Semua kembali tentang ngayah sebagai wujud bhakti kepada Ida Sesuhunan atau Tuhan Yang Maha Esa.

Terteran sendiri memiliki sarat makna yang terkandung di dalamnya. Unsur api menjadi simbol pemurnian bagi krama sebelum dilaksanakannya Ngusaba. Secara tidak langsung para pemain diajarkan pentingnya pengendalian diri dan memerangi unsur ego, amarah, dengki, dan nafsu yang ada pada diri.

Baca Juga:   Desa Adat Kedonganan Akan Gelar Ngusaba Desa

Selain dihadapkan pada suasana gelap tanpa penerangan yang membatasi penglihatan, asap pembakaran serabut kelapa menjadi faktor tantangan tersendiri. Terteran memiliki pantangan menyerang bagian muka agar mencegah hal fatal. Tidak boleh mengayunkan serabut kepala dengan mengayun keatas (nyeluk), tidak merebut satu orang, dan pantang menggunakan boyongan (serabut kelapa mentah) yang dapat berakibat memar. 

Suasana yang dihadirkan yaitu riang gembira, kebersamaan dan sportivitas. Apabila terjadi luka akibat kesisipan (kesalahan), dipercaya obat penyembuhan luka yang timbul dimohonkan bunga pucuk merah (bang) saat Ngusaba di Pura Dalem. (BC5)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini