Tabanan, balibercerita.com –
Jalan kehidupan yang penuh lika-liku teramat sulit dipahami. Tujuan tak kunjung terlihat, kebahagiaan tak bisa didekap, hingga akhirnya banyak yang terjerumus dalam ilusi duniawi. Hal ini pula yang pernah dirasakan Jro Mangku Wayan Sutarjana.
Pemangku dan Pangempon Pura Siwa, di Desa Pujungan, Kecamatan Pupuan, Kabupaten Tabanan ini menuturkan, dahulu sebelum jadi pemangku, ia berkecimpung di dunia bisnis. Kala itu, ia tergolong sukses. Uang yang dihasilkan, digunakan untuk memenuhi berbagai keinginan. Parahnya, ia pernah tidak percaya akan adanya Tuhan.
Namun, ada suatu titik ketika ia tersadar akan tujuan kehidupan. Ketika ia sadar bahwa walau bergelimang harta, tidak mampu memberikannya kebahagiaan. Uang semata-mata hanya menawarkan kesenangan sesaat.
Meski sempat tidak percaya Tuhan, Jro Mangku Wayan Sutarjana sebenarnya sudah menekuni meditasi sejak lama. Tahun 1979, ia telah berguru kepada seorang resi untuk mempelajari meditasi. Saat meditasi di kawasan hutan yang kini menjadi Pura Siwa, tiba-tiba muncul sinar suci dari atas. Cahaya itu lantas menyinari dirinya. Bukan ia saja yang melihatnya, banyak saksi lainnya yang menyaksikan kejadian aneh tersebut.
Peristiwa itulah yang lantas menjadi titik balik kehidupannya. Keajaiban itu yang kembali menyadarkannya akan kebesaran Tuhan. “Baru setelah itu saya sujud. Ya Tuhan, aku siap sebagai pelayan-Mu, aku siap sebagai pelayan umat. Aku tidak minta kekayaan, aku tidak minta sakti. Biarkan aku jadi pelayan,” ujarnya.
Setelah menjadi pemangku di Pura Siwa, Sutarjana mengaku baru bisa merasakan kebahagiaan sejati. Menurutnya, manusia sejatinya diberikan kesenangan yang sama. Walau ia seorang pengemis, pengusaha kaya, atau pejabat, semua sama.
“Semua sama. Salah satu buktinya, makanan terlezat adalah ketika perut lapar. Jadi intinya, jangan mengejar keinginan, tapi penuhilah kebutuhanmu. Tidak akan ada ujungnya jika mengejar keinginan. Setiap manusia sama, tidak ada yang sempurna. Sebab, manusia dibekali dengan rwa bhineda, dua sisi kehidupan, ada baik, ada buruk,” katanya.
Ia juga memiliki keyakinan bahwa kitab suci tiap agama sejatinya adalah alam semesta. Cara mengakses ajaran kehidupan dari alam semesta hanya melalui kepasrahan. Menyerahkan diri sepenuhnya dan yakin bahwa hanya Tuhan yang bisa menunjukkan jalan kebenaran. (BC13)