Tabanan, balibercerita.com –
Pura Watu Ringgit berlokasi di kawasan Kebun Raya Eka Karya Bali atau sering disebut Kebun Raya Bedugul, Tabanan. Selain palinggih ala Hindu Bali, di pura yang lebih dikenal dengan nama Pura Luhur Pucak Batu Meringgit atau Pura Batu Meringgit ini juga terdapat sebuah kongco. Maka tak salah jika pura ini menjadi tempat bersembahyang bagi umat Hindu saja, melainkan warga Tionghoa.
Sejarah Pura Luhur Pucak Batu Meringgit bermula dari seorang raja yang bernama Shri Jaya Sakti yang berkuasa di Bali pada tahun Caka 1021 atau tahun 1099 Masehi. Berdasarkan Raja Purana Pura Watu Ringgit, raja tersebut sangat taat melakukan tapa brata memuja kebesaran Tuhan Yang Maha Kuasa, termasuk memuja para leluhurnya. Hal itulah yang menyebabkan penduduk Bali setia dan bakti kepada rajanya, Shri Jaya Sakti.
Singkat cerita, mengingat usia yang telah lanjut, akhirnya Shri Jaya Sakti mangkat dan digantikan oleh putranya yang bernama Shri Jaya Pangus. Sang putra sangatlah pandai dan cekatan, sama halnya dengan ayahandanya. Di masa Shri Jaya Pangus berkuasa, keadaan Pulau Bali aman dan sentosa. Di masa ini pula para brahmana sangat aktif membina umat dan membuat tempat pemujaan.
Namun, setelah Shri Jaya Pangus wafat dan kedudukannya sebagai raja digantikan oleh anaknya yang bemama Shri Hekajaya, keadaan mulai berubah. Shri Hekajaya tidak mampu memegang kekuasaan dengan arif bijaksana. Upacara keagamaan di kahyangan yang ada di Bali juga tak pernah dilaksanakan. Shri Hekajaya tidaklah lama menjadi raja dan akhirnya wafat.
Ia digantikan oleh adiknya, Shri Dhanadhiraja yang dikenal sebagai seorang yang sangat senang memberikan sedekah kepada para pandita. Setelah ia mangkat, kedudukannya sesuai dengan adat istiadat semestinya digantikan oleh putranya yang bergelar Shri Jayasunu. Namun, Shri Jayasunu tak ingin menjadi raja. Ia pun meninggalkan istana dan tidak ada yang tahu ke mana ia pergi.
Tak terceritakan perjalanannya dalam hutan, akhirnya tibalah Shri Jayasunu di sebelah barat Danau Beratan, tepatnya sebelah selatan Gunung Trate Bang. Di sana ia beristirahat dan duduk di atas sebuah batu, sambil memanjatkan doa ke hadapan Hyang Nini Bhatari. Berkat keteguhan hatinya, Ida Bhatari berkenan menemui Shri Jayasunu.
Sang dewata pun menyampaikan bahwa leluhur Shri Jayasunu tidak ingat akan kewajibannya melakukan pemujaan terhadap kebesaran Tuhan. Hal inilah yang menyebabkan kekacauan tiada hentinya di kerajaan. Mendengar sabda Hyang Nini Bhatari, akhirnya Shri Jayasunu mengutarakan maksud dan tujuannya, yang tiada lain adalah keselamatannya sebagai raja di Pulau Bali.
Hyang Nini Bhatari kemudian kembali bersabda bahwa jika Shri Jaya Kasunu ingin menjadi raja, maka hendaknya di batu tempatnya beryoga itu dibuatkan sebuah parahyangan (pura) dan diberi nama Pura Watu Ringgit, karena pada zaman dahulu sudah diberi nama demikian oleh Bhatara Guru sebagai stana Sang Hyang Iswara. Mendengar wejangan tersebut, Shri Jayasunu tak berani menolak titah tersebut dengan menghaturkan sembah sebagai rasa syukurnya. Ia pun membuat tempat pemujaan pada tahun Caka 1123 atau pada tahun 1201 Masehi dan diberi nama Pura Watu Ringgit, seperti titah Hyang Nini Bhatari.
Setelah selesai mambuat tempat pemujaan, ia sekali lagi melakukan yoga dan pada yoganya ia mendengar sabda dewata yang memintanya melanjutkan perjalanannya ke utara yaitu pada pegunungan Naga Loka yang tepatnya pada Pura Endek untuk memohon waranugraha. (BC13)