Banyuwangi, balibercerita.com –
Pembangunan Pura Agung Blambangan penuh dengan tantangan. Berbagai cobaan dihadapi umat Hindu di Banyuwangi untuk mendirikan pura yang berlokasi di Desa Tembokrejo, Kecamatan Muncar ini. Namun, berkat keinginan luhur dan kerja keras umat, terwujudlah salah satu pura besar di Banyuwangi tersebut. Seperti apa kisahnya?
Pemangku Pura Agung Blambangan, Mangku Tukimun Haryanto didampingi Mangku Sukiran menjelaskan, jauh sebelum dibangunnya pura, belum ada umat Hindu di sekitar kawasan pura. Kondisi politik dan konflik terbuka saat itu membuat perkembangan Hindu di Banyuwangi mengalami kendala. Namun, masyarakat yang memeluk agama Hindu jumlahnya kemudian semakin bertumbuh seiring makin kondusifnya kondisi negara.
Sebelum tahun 1967, masyarakat setempat belum memiliki pura. Awalnya, umat Hindu di sana menggunakan situs Umpak Songo yang lokasinya tidak jauh dari Pura Agung Blambangan saat ini. Situs purbakala itu dipercaya sebagai salah satu kawasan suci, sekaligus peninggalan kerajaan bercorak Hindu yakni Kerajaan Blambangan. Akan tetapi, mengingat situasi kala itu yang tidak memungkinkan umat Hindu untuk terus menggunakan situs Umpak Songo sebagai tempat bersembahyang, maka muncul keinginan umat untuk mendirikan pura.
“Kemudian kepala desa meminta umat Hindu bikin pura. Lalu kepala desa waktu itu ngasih (menukar) tanahnya untuk pembangunan pura. Tapi tukarnya dengan sawah,” ujar Mangku Tukimun.
Ia melanjutkan, di tahun 1967, kawasan Pura Agung Blambangan masih berupa kebun kelapa. Masyarakat kemudian mulai bergotong royong membersihkan areal sekitar 0,5 hektar tersebut. Kala itu, umat tak memiliki dana untuk membangun sebuah pura. Jangankan pura, untuk satu palinggih padmasana saja mereka tidak punya uang karena sebagian besar umat berasal dari kalangan kurang mampu.
Berkat tekad yang kuat dan didorong keinginan luhur untuk memuja kebesaran Ida Sang Hyang Widhi Wasa, umat kemudian menggalang dana dengan membuat semacam kupon undian berhadiah. Singkat cerita, dana berhasil dikumpulkan dan umat memulai pembangunan padmasana meski masih sederhana. Ida Batara yang dimohon untuk distanakan di padmasana itu adalah dari situs Umpak Songo. Upacaranya saat itu dilaksanakan oleh sejumlah sulinggih dari Bali, salah satunya Ida Pedanda Kemenuh dari Kecamatan Seririt, Kabupaten Buleleng.
Soal siapa yang berstana di Pura Agung Blambangan, Mangku Tukimun Haryanto dan Mangku Sukiran kompak mengaku tidak tahu. Mereka dan umat Hindu di Jawa hanya bisa meyakini yang berstana di pura ini adalah leluhur dan Ida Sang Hyang Widhi. Meski pura ini disebut-sebut berkaitan erat dengan Kerajaan Blambangan, tetapi mereka tidak berani memastikannya. Bahkan, walaupun banyak ditemukan situs yang menandakan bekas kerajaan, umat setempat juga tidak berani memastikan bahwa pura ini ada kaitan dengan Kerajaan Blambangan.
“Tidak tahu sejarah pastinya. Karena silsilah, sejarah di sini hilang. Dihilangkan di zaman Soeharto. Malah di Bali yang lebih tahu. Di Bali masih ada catatannya. Kalau di sini sudah tidak ada,” ujar Mangku Tukimun.
Di balik cerita pembangunan Pura Agung Blambangan, juga terselip kisah keteguhan umat Hindu dalam menjalankan keyakinannya. Ketika kondisi negara belum stabil, segala lini kehidupan terdampak, termasuk dalam hal keagamaan. Cukup banyak intimidasi berbau SARA terjadi, terutama ketika banyak yang mulai memeluk agama Hindu. Pertemuan-pertemuan keagamaan dibubarkan, hingga para tokoh agama mendapat ancaman. Mau sembahyang saja juga harus meminta izin kepada aparat.
Ada cerita menarik menyangkut gangguan terhadap keberadaan Pura Agung Blambangan. Ketika padmasana pura sudah berdiri, di belakang padmasana ada warga yang membuat peternakan ayam. Kandangnya sudah jadi, tinggal mengisi ayamnya saja. Tentu ini sangat meresahkan umat. Namun akhirnya, tak ada angin, tak ada hujan, kandang ayam itu tiba-tiba roboh. Kejadian ini pun hanya bisa diyakini sebagai bentuk peringatan bahwa kawasan pura harus dijaga kesuciannya.
Saat ini, Pura Agung Blambangan telah memiliki palinggih dan bangunan pelengkap lainnya. Luasnya pun sudah bertambah. Fasilitas bagi pamedek tergolong memadai, seperti kamar mandi dan ruang ganti yang sangat dijaga kebersihannya. Hal paling penting, kerukunan antarumat beragama telah tumbuh dengan subur. (BC13)