Tradisi ini diawali saat tengah hari. Seluruh peserta berkumpul di Pura Dalem Munggu untuk melaksanakan upacara syukuran bahwa selama 6 bulan, pertanian, perkebunan dan segala usaha penduduk berlangsung dengan baik. Setelah itu, masyarakat yang ikut dalam tradisi ini akan mengenakan pakaian adat madya dengan destar batik dan membawa selonjoran kayu. Pada setiap pertigaan yang dilewati, masing-masing kelompok akan menggabungkan kayu-kayu tersebut hingga berbentuk kerucut lalu mereka berputar, berjingkrak, dengan iringan gamelan.
Bendesa Adat Munggu, I Made Rai Sujana mengatakan, tradisi Makotek juga diyakini sebagai upacara penolak bala, sehingga pantang ditiadakan. Tradisi Mekotek sendiri telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Indonesia pada tahun 2016. “Menurut sejarah, tradisi Makotek diperkirakan sudah dilaksanakan pada masa jaya Kerajaan Mengwi tahun 1.700 Masehi. Kami sendiri tidak berani untuk tidak mengadakan,” ujarnya.
Menurutnya, istilah Makotek diambil dari kata tek-tek yang merupakan bunyi kayu yang diadu satu sama lain sehingga menimbulkan bunyi. Upacara ini diikuti 1.130 KK atau sekitar 4.000 jiwa di Desa Adat Munggu. Namun, sejak pandemi Covid-19 peserta Makotek dibatasi. “Selama pandemi kami batasi pesertanya agar juga tidak melanggar surat edaran pemerintah tentang penerapan protokol kesehatan,” katanya. (BC20)