Mangupura, balibercerita.com –
Pantai Kuta merupakan salah satu wilayah pesisir di Kabupaten Badung yang menjadi ikon pariwisata Bali. Pantai berpasir putih ini menjadi langganan tempat penyu bertelur. Hal ini menjadi daya tarik tersendiri bagi kunjungan wisata, sebab kegiatan pelepasan anak tukik hasil konservasi di Pantai Kuta selalu menyedot animo wisatawan mancanegara. Tidak heran jika berbagai kegiatan yang berhubungan dengan pelepasliaran tukik selalu dilaksanakan di Pantai Kuta.
Siapa sangka, di balik kawasan Kuta yang kini sangat ramah dengan penyu ternyata tersimpan sejarah kelam pembantaian penyu. Dulu, masyarakat sering menangkap dan membunuh penyu untuk dikonsumsi. Seiring dengan aturan perlindungan satwa penyu dan edukasi, kesadaran masyarakat akan pentingnya melestarikan penyu tumbuh menguat. Saat ini, penyu menjadi hewan yang sangat dilindungi di Kuta, bahkan menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan.
Adalah I Gusti Ngurah Tresna (71) salah seorang pencetus Kuta Beach Sea Turtle Conservation Center. Pria asli Kuta ini mendedikasikan dirinya mengabdi, melestarikan, dan menyelamatkan penyu-penyu yang bertelur di sepanjang Kawasan Kuta, Legian, Seminyak, dan Canggu. Dibantu oleh 7 anggotanya, pria yang akrab dijuluki Mr. Tukik ini selalu menjadi garda terdepan dalam upaya konservasi penyu di Pantai Kuta.
Lebih dari 23 tahun ia mengedukasi masyarakat tentang pentingnya melestarikan satwa penyu yang terancam punah. Usahanya berbuah manis karena semakin banyak masyarakat dan wisatawan yang aware akan keberadaan penyu di Pantai Kuta, Legian, Seminyak, hingga ke Kuta Utara.
“Sekarang masyarakat sudah tahu apa yang dikerjakan ketika mendapati penyu bertelur di pantai. Mereka menjadi informan bagi kami dan tahu apa yang harus di-cover ketika melihat penyu bertelur,” ucapnya.
Pada dasarnya, habitat penyu bertelur ada pada kawasan pantai yang agak gelap dan sepi. Namun, seiring dengan perkembangan pariwisata, penyu beradaptasi dan hidup bersahabat dengan masyarakat dan pengunjung. Begitu pula masyarakat dan pengunjung paham bahwa ketika penyu bertelur, mereka tidak boleh disenter dan dipegang.
“Kita juga banyak mendapatkan informasi dari tamu hotel ketika mereka mendapati penyu bersarang di pesisir. Masyarakat langsung meng-cover untuk melindungi dan kita langsung meluncur untuk kita konservasi,” bebernya.
Pada umumnya, periode penyu bertelur di Pantai Kuta terjadi pada musim panas di rentang bulan Maret-Oktober. Mereka berhenti bersarang pada periode memasuki musim hujan, yaitu November-Februari. Sampai saat ini penyu yang bersarang di Pantai Kuta dan sekitarnya berupa jenis penyu lekang. Ia berharap keberadaan penyu hijau dapat kembali bersarang di Kuta seperti sediakala.
Dipaparkannya, proses penetasan telur penyu dilakukan secara alami, sehingga tidak merubah ekosistem. Saat penyu bertelur, induk akan kembali ke laut. Telur penyu itu kemudian dipindahkan oleh petugas kesebuah tempat penangkaran penetasan yang berbentuk penyu raksasa. Proses penetasan telur penyu menjadi tukik memerlukan waktu kurang lebih 46 sampai 60 hari hari. Usai menetas, tukik itu kemudian dirilis kembali ke laut.
Pelepasan tukik menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan asing. Mereka ingin selalu ikut dalam kegiatan rilis tukik yang dilaksanakannya. Setiap wisatawan yang ikut kegiatan rilis tidak dikenakan biaya, namun bagi mereka yang ingin berdonasi disediakan kotak donasi. Dana yang terkumpul akan dipergunakan untuk biaya operasional di lapangan.
“Wisatawan Australia banyak yang bertanya terkait kegiatan konservasi kami. Mereka ingin diberitahukan ketika rilis dan terkadang mengirimkan dana untuk membantu kami. Mereka memiliki aware yang tinggi dalam konservasi,” ucapnya.
Karena dikenal sebagai kawasan konservasi penyu, kegiatan pelepasliaran penyu sitaan juga sering dilaksanakan di Kuta. Melalui hal itu diharapkan penyu tersebut dapat kembali lagi bersarang di Kuta. (BC5)