SE MDA Bali Sikapi Lonjakan Kasus Covid-19, Pawai Ogoh-ogoh Ditiadakan

0
65
Ogoh-ogoh
Ogoh-ogoh mini yang dilombakan di Pedungan. Untuk tahun ini, pawai atau arak-arakan ogoh-ogoh kembali ditiadakan. (BC17)

Denpasar, balibercerita.com –  

Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali mengeluarkan surat edaran (SE) sehubungan dengan kembali terjadinya lonjakan kasus Covid-19 di wilayah Provinsi Bali sejak awal Februari 2022. Kasus ini diperkirakan belum akan melandai sampai dilaksanakan serangkaian kegiatan Hari Suci Nyepi, Tahun Baru Saka 1944.

SE Nomor: 009/SE/MDAPBali/XII/2021, tertanggal 22 Desember 2021 pada ketentuan pengaturan menegaskan bahwa pembuatan dan pawai ogoh-ogoh agar tetap mencermati kondisi dan situasi penularan gering tumpur agung Covid-19, dan memastikan sudah dalam kondisi yang melandai serta tidak ada kebijakan baru pemerintah pusat maupun pemerintah daerah terkait dengan pembatasan aktivitas.

Baca Juga:   Ogoh-ogoh di Pecatu Angkat Tema Konservasi Hewan Langka 

Namun, mengingat saat ini kondisi Covid-19 di Bali belum dalam kondisi melandai, dalam SE yang ditandatangani Bandesa Agung, Ida Pangelingsir Agung Putra Sukahet pada Jumat (11/2), menyebutkan kasus Covid-19 justru meningkat kembali secara ekstrem dan bersamaan dengan itu juga telah ada kebijakan baru dari pemerintah pusat dan daerah. Seperti, status Bali dinaikkan dari PPKM Level 2 menjadi Level 3, dan kembali diberlakukannya pembatasan kerumunan, maka dengan sendirinya berarti pawai ogoh-ogoh saat Pangerupukan yang berkaitan dengan rangkaian hari suci Nyepi nanti, tidak dilaksanakan. 

Baca Juga:   Aksara Bali Berhasil Didaftarkan ke Unicode

Rangkaian kegiatan melasti dan tawur kesanga dilaksanakan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut; bagi desa adat yang wewidangannya berdekatan dengan segara, melasti di pantai; bagi desa adat yang wewidangannya berdekatan dengan danu, melasti di danau; bagi desa adat yang wewidangannya berdekatan dengan campuhan, melasti di campuhan; desa adat yang memiliki beji dan/atau Pura Beji, melasti di beji; desa adat yang tidak melaksanakan melasti dapat melasti dengan cara ngubeng atau ngayat dari pura setempat.

Baca Juga:   Angkat Citra Endek Bali Melalui KTT G20 

Selain itu, membatasi jumlah peserta yang ikut dalam prosesi upacara melasti yakni paling banyak 50 orang. Dilarang memakai atau membunyikan petasan dan sejenisnya. Bagi krama desa adat yang sakit atau merasa kurang sehat, agar tidak mengikuti rangkaian upacara dan melaksanakan Catur Brata Panyepian dengan penuh rasa sradha bhakti. (BC20)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini