Mangupura, balibercerita.com –
Suasana magis dan sakral mengiringi pelaksanaan upacara Nangluk Merana lan Pacaruan sasih Desa Adat Kuta pada Minggu (10/12). Puluhan sadeg dan pepatih mengalami trance secara bergantian saat pelawatan Ida Bhatara memasuki kawasan Pura Dalem Kahyangan dan Penataran Desa Adat Kuta.
Selain menghujamkan keris ke tubuhnya (ngurek), mereka berteriak histeris, menangis dan menari mengiringi prosesi upacara. Para pemangku dan tokoh masyarakat dengan sigap mengayomi para sadeg dan memenuhi permintaan mereka. Ada yang meminta banten segehan, pasepan, dupa menyala maupun tirta. Bahkan ada diantara mereka yang memakan ayam hidup-hidup dan dupa yang menyala sambil ngurek.
Menariknya, para sadeg dari pangempon pelawatan masing-masing seolah memiliki koneksi dengan sadeg dari pelawatan lainnya. Mereka menyambut dan berkomunikasi dengan bahasa tertentu untuk kemudian ngurek bersama-sama. Mulai dari depan kawasan pura, hingga ke area madya mandala pura.
Prosesi Nangluk Merana dimulai di masing-masing persimpangan jalan sejak pukul 07.00 Wita sampai pukul 11.00 Wita. Selanjutnya, pelawatan Ida Batara seluruhnya akan diiring untuk distanakan di Pura Dalem Kahyangan, yang menjadi pusat pelaksanaan upacara Nangluk Merana.
Ada beberapa pelawatan dari 6 banjar yang nantinya akan distanakan di Pura Dalem Kahyangan yakni dari Banjar Pelasa, Pemamoran, Jaba Jero, Pande, Tegal, dan Tanjung Pikat Banjar Segara. Saat semua pelawatan telah distanakan di pura, maka dilakukan penyamblehan kucit butuan. Penyamblehan itu dilakukan dua kali, termasuk saat tirta dari telengin segara dan catus pata diiring ke pura.
Bendesa Adat Kuta Komang Alit Ardana menerangkan bahwa upacara Nangluk Merana lan Pacaruan Sasih merupakan upacara yang termasuk Bhuta Yadnya. Upacara ini rutin dilaksanakan bertepatan Sasih Kanem pada Kajeng Kliwon Enyitan atau Kajeng Kliwon Uwudan.
“Makna dan tujuan dari upacara Nangluk Merana adalah memohon keselamatan, kerahayuan, kasukertan. Agar masyarakat kami di Kuta khususnya dan Bali umumnya dijauhkan dari wabah maupun bencana,” ucapnya.
Menurut penuturan para pangelingsir dan yang tersirat dalam lontar Sangara Gumi, Sasih Kanem merupakan sasih ala atau sasih merana. Pada zaman itu, saat masa pemerintahan Raja Sri Aji Jaya Kasunu, ia mendapat sebuah pawisik tentang pelaksanaan upacara Nangluk Merana saat Sasih Kanem, dengan mengaturkan amanca yadnya, pakelem di telengin segara (tengah laut). Tujuannya untuk ngarad atau memohon wara nugraha Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
“Saat ini, sasih Kanem merupakan periode pancaroba yaitu peralihan dari musim kemarau ke musim hujan. Hal ini tentu akan memicu munculnya berbagai penyakit, baik penyakit batuk, pilek, demam, dan sebagainya. Zaman dulu hal tersebut biasanya dikenal dengan istilah gering atau sakit,” jelasnya.
Berdasarkan pararem dalam pelaksanaan upacara Nangluk Merana semua krama dilibatkan baik itu krama ngarep, krama tamiu, dan tamiu. Hal itu dikarenakan mereka berada di wilayah Desa Adat Kuta. Namun, keterlibatan krama tamiu tidak secara langsung. Mereka akan memohon tirta dan beras tawur dari prosesi upacara dipercikkan di seluruh wewidangan, termasuk ke perusahaan yang ada di Desa Adat Kuta. Tirta dan beras tawur itu dapat diperoleh usai upacara, yaitu di banjar masing-masing dan di pura.
Selama prosesi upacara, lalu lintas kendaraan dilakukan rekayasa buka tutup. Sebab di beberapa lokasi upacara, sebagian badan jalan dipergunakan sebagai lokasi upacara. Atas hal itu, pihaknya mengaku sudah mengeluarkan imbauan dan permakluman sebelum pelaksanaan acara terkait upacara Nangluk Merana dan pecaruan sasih. (BC5)