Mangupura, balibercerita.com –
Sejak berdiri tahun 1981, Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (Mappi) ternyata belum memiliki undang-undang (UU) penilai. Padahal UU tersebut memiliki peran penting sebagai payung hukum terbentuknya pusat data transaksi properti nasional yang valid. Untuk itu Mappi terus mendorong agar rancangan UU (RUU) dapat masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas tahun 2023. Sehingga tahap penyusunan, pembahasan, pengesahan/penetapan, dan pengundangan RUU itu dapat segera dilaksanakan.
Ketua Umum Dewan Pengurus MAPPI, Muhammad A Muttaqin menerangkan, profesi penilai memiliki peran sangat luar biasa dalam pembangunan ekonomi nasional. Mulai dari sektor perbankan, pasar modal, laporan keuangan, BSN, dan sebagainya. Namun secara regulasi, profesi penilai di Indonesia baru diatur dalam peraturan Menteri Keuangan. Atas hal itu pihaknya terus berjuang untuk dapat mewujudkan UU penilai tersebut.
Sehingga kepentingan masyarakat untuk mendapatkan hasil penilaian yang kredibel, akurat, profesional, independent akam dapat terjamin. Dengan terjaminnya kepentingan masyarakat, otomatis kepentingan penilai juga dapat tercapai dan terlindungi. Pihaknya juga berupaya agar profesi penilai memiliki semacam dewan etik, demi adanya perlindungan kepada para penilai.
Perjuangan untuk merealisasikan UU penilai diakuinya sudah dilakukan sejak tahun 2009. Namun entah karena alasan apa, hal itu belum juga dapat terwujud hingga saat ini. Mungkin saja hal itu disebabkan karena peran penilai saat itu belum dianggap penting dalam ekonomi, sehingga DPR maupun Pemerintah belum-benar care. Namun belakangan ini, pentingnya peran penilai semakin disadari karena kebutuhan.
“Penilai senantiasa dilibatkan dalam mendukung pengungkapan kasus dugaan korupsi, pertimbangan dasar penilaian aset, penentuan limit harga lelang, kebutuhan terkait infrastruktur, termasuk dilibatkan dalam perkiraan nilai tanah yang akan dijadikan Ibu Kota Negara (IKN),” ungkapnya saat menghadiri 24th ASEAN Valuers Association Congress di Nusa Dua belum lama ini.
Dipaparkannya, ada proses untuk membuat RUU penilai. Proses itu bisa berasal dari inisiatif pemerintah maupun DPR. Usulan itu sudah pernah diajukan pihaknya melalui pemerintah, namun saat itu usulan tersebut masuk ke dalam urutan 200. Pihaknya kemudian kembali mengusulkan hal itu kembali di tahun berikutnya, namun itu masuk urutan ke 70.
Oleh karena itu tahun ini pihaknya kembali menyusun RUU penilai untuk dicoba diusulkan melalui DPR yang tentunya berkoordinasi dengan pemerintah dengan harapan hal itu masuk menjadi prolegnas prioritas di tahun 2023. “RUU penilai sekarang ini dalam proses harmonisasi/ penyelarasan di Kemenkumham. Kita akan persiapan naskah akademis rancangan UU, semoga akhir tahun ini atau awal tahun bisa masuk dalam pembahasan prolegnas prioritas 2023. Kalau masuknya tahun 2024, akan semakin lama pembahasannya. Doakan semoga ini dapat terwujud,” bebernya.
Melalui kongres profesi penilai yang bertajuk Emerging Stronger Valuation For Strong Recovery and Sustainable Future itu, juga akan dimanfaatkan untuk mematangkan RUU penilai. Regulator penilai di seluruh ASEAN diajak untuk diskusi terkait bagaimana pengalaman mengatur profesinya di masing-masing negara termasuk belajar dari Singapura yang memiliki UU Penilai sejak tahun 1949 dan Malaysia tahun 1981.
“Ada special guest speker dari Ditjen Kekayaan Negara bersama MAPPI, yang akan mempresentasikan penyusunan RUU. Kira-kira nanti isinya seperti apa, apa saja yang diatur, termasuk sanksi administrasi kalau penilai melakukan kesalahan,” imbuhnya sembari berharap ke depan profesi penilai bisa semakin eksis. (BC5)