Fragmen itu juga diambil dari cerita Adi Parwa, yaitu saat Dewa Brahma dan Dewa Wisnu bersitegang. Di sana kemudian hadir Dewa Siwa sebagai penengah, dengan bentuk sebagai Dewa Angin. Dengan angin, air bisa bergejolak dan api bisa besar. Namun dengan angin pula api bisa padam dan air kembali tenang. “Kita memaknai mepadu telu ini adalah tata cara untuk mendapatkan kebenaran yang hakiki. Semua unsur materi dan non materi perlu disatukan, agar semua bisa mendapatkan goal atau target yang pasti. Dengan demikian, maka Rumaruh Wiweka Jati bisa berujung pada hal yang tepat dan akan ditemukan kebenaran yang sesungguhnya,” bebernya.
Ia berharap agar tradisi itu bisa terus dikonstruksi sehingga generasi muda Jimbaran memiliki tradisi yang bisa dihadirkan setiap tahun. Dengan sekian jam berlatih, mereka juga diharapkan dapat berhenti sejenak meninggalkan gadget ataupun hp. Sehingga mereka bisa kembali ke alam dan melakukan interaksi sosial sesungguhnya. Hal itu dilakukan untuk mengurangi dampak negatif terhadap kecanduan tekhnologi. (BC5)