Mangupura, balibercerita.com –
Praktisi hukum tata negara dan hukum administrasi negara diimbau bersikap jernih dan objektif, khususnya saat menghadapi polemik atau isu yang menjadi perdebatan di tengah masyarakat. Sebab, seringkali ahli hukum terkungkung dalam pandangan politik yang menjebak.
Hal tersebut disampaikan dalam Simposium Nasional Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi, kerja sama Dirjen Administrasi Hukum Umum (AHU) Kemenkumham dengan Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi (APHTN-HAN), di Westin Nusa Dua. Simposium berlangsung 17-19 Mei 2022.
Selaku Ketua Dewan Pembina APHTN HAN, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan HAM, Mahfud MD berpesan agar APHTN HAN selalu berpikir jernih. Ada 2 hal yang harus menjadi perhatian. Pertama, sering sekali ahli hukum terjebak dalam pandangan-pandangan politik yang memihak. Sehingga ketika ada sesuatu antara hukum tata negara dan administrasi negara itu sering ribut. Hal itu sebenarnya biasa dalam ilmu, namun jika itu kemudian dalam konteks dukung mendukung agenda politik yang kemudian tidak jernih dan keluar dari intelektualitas, maka itu tidak bagus.
“Akan beda bagi saya dan Pak Yasona, karena ini memang pemerintah punya pilihan kebijakan yang harus dipertanggungjawabkan. Itu bisa secara politis, tapi kalau ilmuwan atau organisasi akademisi, itu harus jernih,” tegasnya.
Kedua, para ahli diminta jangan sampai salah dalam melakukan analisa hukum. Kadang kala ketika sikap politik mulai memihak, maka analisa hukumnya salah. Kalau sudah memihak pihak satu pihak, maka tentu akan dicari dalil-dalil pembenaran yang pas dengan situasi sosial politik. “Kalaupun ada ribut, itu sebenarnya biasa. Tapi, kalau terlibat dalam agenda politik, maka itu sangat tidak bagus. Organisasi akademis harus jernih dan harus ada hati nurhani,” tegasnya.
Hal senada disampaikan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) RI, Yasonna H Laoly. Ia mengatakan, banyak isu konstitusional maupun isu hukum ketatanegaraan dan administrasi tata negara yang sering menjadi polemik dan perdebatan-perdebatan di tengah masyarakat, baik mengenai partai politik maupun berbagai isu lainya yang berkembang di masyarakat. Untuk itu, APHTN HAM diharapkan bisa menyampaikan pikiran yang brilian secara obyektif dan benar. Sebab terkadang kita terjebak dengan unsur-unsur politis. “Saya pikir, sebagai asosiasi pengajar, sebagai ilmuwan kita harus jernih mengambil sikap pikiran, dan putusan untuk disumbangkan dan disampaikan kepada publik,” terangnya.
Dipaparkannya, perkembangan dunia hukum memang menjadi tantangan dalam kegiatan bernegara. Adanya berbagai pembaharuan regulasi, kebijakan, dan penemuan hukum di berbagai sektor melahirkan hukum semakin progresif. Tanpa terkecuali dalam bidang hukum tata negara yang sangat lekat dengan studi mengenai konstitusi negara Indonesia, yaitu UUD 1945. Reformasi yang menempatkan Indonesia sebagai negara demokrasi tidak lepas dari adanya gagasan para pemikir hukum tata negara. Gagasan tersebut dituangkan dalam serangkaian amandemen UUD 1945 yang dilaksanakan pada kurun waktu tahun 1999 hingga 2002. “Artinya, studi hukum tata negara memang sangat penting dalam mendukung kegiatan bernegara dan memiliki peranan yang strategis,” ucapnya.
Maka dari itu, keberadaan APHTN-HAN yang merupakan wadah kolaborasi antara pemikir hukum tata negara dan hukum administrasi negara di Indonesia dinilai merupakan hal positif yang diyakini mampu mendorong perkembangan sistem hukum nasional ke arah yang semakin baik. Untuk itu APHTN HAN diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran-pemikiran yang brilian dalam melakukan revisi peraturan pemerintah. Seperti revisi peraturan pemerintah terkait tata cara kehilangan kewarganegaraan dan perolehan kewarganegaraan.
Sementara, Direktur Jenderal AHU Kemenkumham Cahyo R. Muzhar menyampaikan, Kemenkumham sudah 7 kali melaksanakan kegiatan yang bekerja sama dengan asosiasi pengajar hukum tata negara dan hukum administrasi negara. Kerja sama kegiatan tersebut telah dilaksanakan sejak tahun 2014 hingga tahun 2019. Tahun ini kerja sama tersebut kembali dilaksanakan untuk ke-7 kalinya dalam kegiatan simposium yang bertema “Penguatan Fungsi Kemenkumham Dalam Memberikan Perlindungan dan Kepastian Peningkatan Layanan Ketatanegaraan”. Hal itu bertujuan untuk memperkaya dan menemukan gagasan akademik, merumuskan solusi dan rekomendasi kebijakan yang dapat dipergunakan dalam menyelesaikan problematika layanan ketatanegaraan pada Kemenkumham. Seperti layanan kewarganegaraan maupun partai politik.
Dalam status kewarganegaraan, negara bertanggung jawab untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak kewarganegaraan sebagai bentuk perlindungan negara terhadap warga negaranya. Seperti contoh pemerintah berupaya memberikan perlindungan kepada anak hasil perkawinan campur yang terancam menjadi warga negara asing melalui perubahan regulasi, menyusun perubahan terhadap perubahan Peraturan Pemerintah RI No 2 tahun 2007 yang akan memberikan kemudahan kepada anak tersebut menjadi WNI.
Dalam bidang politik, eksistensi parpol sejalan dengan munculnya paham demokrasi dan kedaulatan rakyat dalam penyelenggaraan sistem ketatanegaraan. Kemenkumham dalam tugas dan fungsinya berwenang memberikan status badan hukum bagi parpol, dalam rangka mengikuti kancah pesta demokrasi pada pemilu. Untuk itu Parpol harus terdaftar sebagai parpol yang berbadan hukum di Kemenkumham dalam jangka waktu 2,5 tahun sebelum pelaksanaan pemilu mendatang.
“Problematika dan usu krusial itu akan digali lebih mendalam dan komprehensif dalam kegiatan ini. Kegiatan ini diikuti oleh 204 orang yang terdiri dari pejabat Kemenkumham pusat dan Kanwil Daerah Bali, Dewan Pengurus dan Daerah APHTN HAN di seluruh Indonesia, serta civitas akademika Unud,” paparnya sembari menerangkan APHTN HAN memiliki lebih dari seribu anggota yang merupakan dosen hukum tata negara dan hukum administrasi negara di berbagai institusi pendidikan di seluruh wilayah Indonesia. (BC5)