Mangupura, balibercerita com –
Dua orang WNA secara berturut-turut dideportasi dari Bali karena kasus overstay. Pendeportasian pertama diakukan pada Senin (18/7), kepada seorang warga Mesir karena telah overstay lebih dari 60 hari. Kemudian pada Selasa (19/7), giliran warga Belanda yang dideportasi karena overstay selama 461 hari.
Sebelumnya, kedua WNA tersebut sempat ditahan sementara di Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Denpasar, di Jimbaran. Mereka juga diusulkan untuk dilakukan penangkalan (tidak bisa masuk ke wilayah hukum Indonesia) kepada Direktorat Jenderal Imigrasi Kemenkumham.
Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Provinsi Bali, Anggiat Napitupulu menerangkan, warga Mesir yang dideportasi tersebut berinisial KMHHM (37). Ia dideportasi karena dinyatakan telah overstay lebih dari 60 hari oleh Kantor Imigrasi Kelas I Khusus TPI Ngurah Rai. Ia juga sempat mendekam di Rudenim Denpasar hampir 7 bulan, sembari menunggu proses pemulangan ke negara asal.
Pendeportasian pria kelahiran Sau itu dilakukan melalui Bandara Internasional Soekarno Hatta pada 18 Juli 2022, dengan menggunakan maskapai Saudi Arabian Airlines pada pukul 18.08 WIB. Adapun nomor penerbangan maskapai itu yaitu SV-819 tujuan Alexandria Borg El Arab (HBE).
“Dua petugas Rudenim Denpasar mengawal dengan ketat proses pendeportasian dari Bali hingga Jakarta, sampai ia masuk ke dalam pesawat tujuan Mesir tersebut. KMHHM kami usulkan masuk dalam daftar penangkalan ke Direktorat Jenderal Imigrasi. Keputusan penangkalan lebih lanjut akan diputuskan Direktorat Jenderal Imigrasi dengan melihat dan mempertimbangkan seluruh kasusnya,” terangnya.
KMHHM tiba di Bandara Internasional Soekarno Hatta menggunakan Visa On Arrival (VOA) pada tanggal 2 Februari 2020, dengan tujuan berlibur di Bali. Kemudian pada 24 Februari 2021, ia mendapatkan visa onshore dengan sponsor istri yang bersangkutan, dan terus melakukan perpanjangan. Pada pertengahan Juni 2021, masa izin tinggal KMHHM habis dan yang bersangkutan diketahui belum meninggalkan Indonesia.
Ia kemudian datang ke Kantor Imigrasi Kelas I Khusus TPI Ngurah Rai pada tanggal 22 Desember 2021 dan mengaku tidak mempunyai uang untuk membeli tiket kembali ke negaranya. “Walaupun ia berdalih hal tersebut adalah karena kealpaannya, imigrasi tetap dapat melakukan tindakan administratif keimigrasian yang sejalan dengan asas ignorantia legis neminem excusat (ketidaktahuan akan hukum tidak membenarkan siapa pun,),” tegasnya.
Pedeportasian kedua dilaksanakan kepada warga Belanda berinisial VM (68), karena overstay selama 461 hari. WNA berjenis kelamin wanita itu hampir 2 minggu telah didetensi di Rudenim Denpasar, sebelum dilakukan pendeportasian. Ia juga dinyatakan melanggar pasal 48 Ayat (1) Undang-Undang No 6 tahun 2011 tentang keimigrasian.
Proses pendeportasian dilaksanakan menggunakan melalui Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai, dengan maskapai KLM Royal Dutch Airlines. Ia terbang dari Bali pada pukul 21.00 Wita, dengan nomor penerbangan KL 836 dengan tujuan Amsterdam.
VM telah tinggal di Indonesia, tepatnya di Pulau Lombok selama 8 tahun 3 bulan, yaitu sejak tanggal 22 April 2014. Tujuan VM datang ke Indonesia untuk melakukan investasi dan membangun sebuah bisnis yang bergerak di bidang makanan dan restoran. Ia juga diketahui memiliki sebuah bungalow di daerah Lombok Tengah.
VM pertama kali masuk ke wilayah Indonesia dengan menggunakan visa kunjungan sosial dan tinggal selama 6 bulan. Ia kemudian mengajukan kembali visa investor karena sudah mulai membuat bisnis bungalow. “VM merupakan pemegang KITAS Investor yang berlaku sampai dengan 23 Oktober 2020,” terangnya.
Sejak berakhirnya izin tinggal terbatas tersebut, VM tidak lagi melakukan perpanjangan izin tinggal keimigrasian, sampai pada saat yang bersangkutan ditangkap. Yang bersangkutan tidak melakukan perpanjangan izin tinggal, karena memgaku telah mengajukan permohonan KITAP (kartu izin tinggal tetap), dengan meminta bantuan teman WNI-nya pada tahun 2018 silam namun hingga kini tidak kunjung selesai.
Pada bulan Desember 2021, petugas Divisi Keimigrasian Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM NTB datang untuk melakukan pengecekan paspor. Saat itu ia mengaku baru menyadari bahwa paspornya telah hilang dan tidak melaporkan kehilangan paspor tersebut ke kedutaan besar negaranya. Dalam kasus tersebut, Kantor Imigrasi Kelas I TPI Mataram menyatakan bahwa yang bersangkutan tidak memiliki paspor sedangkan izin tinggal keimigrasian telah habis masa berlaku sejak tanggal 23 Oktober 2020. (BC5)