Mangupura, balibercerita.com –
Dang Hyang Dwijendra menyaksikan cahaya suci turun di daerah pesisir Gianyar yang kini dikenal sebagai Pura Masceti. Bertemulah Beliau dengan Batara Masceti, salah satu sosok penting dalam perjalanan spiritualnya. Dari Batara Masceti, Dang Hyang Dwijendra mendapat petunjuk melanjutkan perjalanan suci demi mencapai moksa, termasuk ke daerah yang kini bernama Kerobokan Kelod. Sebagai bentuk penghormatan, didirikan Pura Masceti Ulun Tanjung yang berada dalam satu kawasan Pura Petitenget.
Demikian Pemangku Pura Petitenget, Jro Mangku Gede Made Widra mengawali penjelasannya mengenai asal usul Pura Petitenget. Menurutnya, dalam Lontar Dwijendra Tatwa dijelaskan mengenai kaitan erat Batara Masceti dengan Dang Hyang Dwijendra atau Dang Hyang Nirartha. Konon, Batara Masceti mengetahui keinginan Dang Hyang Nirartha untuk mencapai moksa. Namun, Batara Masceti menegaskan, tujuan Dang Hyang Dwijendra tidak akan tercapai jika hanya menempa diri lahir batin di Pura Masceti.
Maka dari itu, Batara Masceti meminta Dang Hyang Dwijendra melanjutkan perjalanan ke arah barat ke suatu daerah yang dinamakan Serangan. Di pulau ini, Dang Hyang Nirartha yang sudah kali kedua datang ke Bali diminta menetap oleh penduduk setempat. Namun permintaan itu ditolak. Sebagai gantinya, Dang Hyang Dwijendra memberikan kancing gelung kepada penduduk untuk distanakan di Pura Sakenan.
Sesuai petunjuk Batara Masceti, perjalanan suci Dang Hyang Dwijendra berlanjut ke barat hingga kawasan hutan di Desa kerobokan. Di sana Dang Hyang Dwijendra bertemu dengan makhluk gaib penjaga hutan. Makhluk menyeramkan dan sakti itu bernama Ki Buto Ijo. Meski menyeramkan, namun ia tetap ketakutan melihat wibawa dan pancaran kesucian dari Dang Hyang Dwijendra.
Dengan penuh welas asih, Dang Hyang Dwijendra meminta Ki Buto Ijo untuk tidak takut padanya. Ki Buto Ijo bahkan diminta mendekat. Dang Hyang Dwijendra lantas mengatakan bahwa ia akan menempatkan pecanangan atau tempat base miliknya di tempat itu. Ki Buto Ijo pun diberi tugas menjaga pecanangan tersebut. Paham betapa penting dan berisikonya menjaga benda itu, Ki Buto Ijo lantas mengajukan permohonan kepada Dang Hyang Dwijendra. Ia memohon agar dianugerahi mantra suci agar mampu mengemban tugas mulia tersebut. Sebuah permohonan yang kemudian dikabulkan oleh Dang Hyang Dwijendra.
Tak berapa lama kemudian, Dang Hyang Dwijendra meninggalkan hutan tersebut. Langkahnya makin mantap manakala Batara Masceti menyampaikan petunjuk bahwa sudah saatnya mencapai moksa atau kebahagiaan sejati. Batara Masceti menunjukkan sebuah bukit yang menjorok ke laut. Bentuknya ibarat perahu yang siap berlayar. Bukit itu bernama Uluwatu. Di sanalah Dang Hyang Nirartha diminta melepaskan diri dari ikatan duniawi.
Singkat cerita, hutan yang dijaga Ki Buto Ijo makin terkenal angker. Penduduk sekitar yang masuk hutan tanpa seizin Ki Buto Ijo dipastikan akan sakit. Makin lama, makin banyak penduduk yang sakit. Masyarakat pun dibuat kebingungan mengatasi penyakit yang mewabah ini. Di tengah belenggu masalah, tetua Desa Kerobokan mendengar informasi adanya seorang pendeta yang menetap di Uluwatu yang memiliki kesaktian sangat tinggi. Tokoh masyarakat Kerobokan pun kemudian menghadap ke orang suci tersebut yang tak lain adalah Dang Hyang Dwijendra.
Setelah bertemu, mereka menyampaikan keluh kesah mengenai wabah yang menyerang desa mereka. Berkat kesaktian dan kesuciannya, Dang Hyang Nirartha mengetahui bahwa penyakit itu disebabkan Ki Buto Ijo karena masyarakat sembarangan mengambil sesuatu dalam hutan. Masyarakat kemudian diberikan petunjuk untuk mendirikan bangunan suci sebagai tempat berstananya Ki Buto Ijo.
Masyarakat juga diminta mendirikan bangunan suci berupa penyawangan untuk Batara Masceti dan petilasan untuk Dang Hyang Dwijendra. Desa tersebut menjadi damai setelah tempat suci didirikan dan upacara digelar. Sejak saat itu pula, kawasan suci tersebut dinamakan Pura Petitenget karena berawal dari sebuah pecanangan berbentuk peti yang dikeramatkan atau tenget. (BC13)