Amlapura, balibercerita.com –
Selain dikenal dengan tradisi Bali kunonya seperti usaba guling yang masih terjaga sampai saat ini, Desa Adat Timbrah, Karangasem, juga memiliki wisata spiritual yang tidak kalah menariknya dibandingkan kabupaten lain di Bali. Salah satunya, Penglukatan Pancoran Sapta Gangga yang dipercaya dapat melebur mimpi buruk dan menyembuhkan berbagai penyakit sekala maupun niskala.
Penglukatan Pancoran Sapta Gangga terletak di areal Pura Tirta Empul di Desa Adat Timbrah, Desa Pertima, salah satu desa tua di Kabupaten Karangasem. Oleh Desa Adat Timbrah, kawasan ini baru ditata di tahun 2019. Pancuran ini dikembangkan sebagai tempat melukat bagi masyarakat umum dan sebagai destinasi wisata spiritual.
Penglukatan Pancoran Sapta Gangga memiliki sumber mata air alami yang sangat jernih yang berasal dari satu sumber mata air (klebutan) yang kemudian dialirkan menuju kolam pangelukatan dengan 7 pancoran yang melambangkan 7 bidadari dari kahyangan, yaitu Gangga, Sindhu, Saraswati, Yamuna, Godawari, Narmada dan Serayu.
Menurut Pangrajeg Desa Adat Timbrah, Nengah Sudarsa, sumber mata air ini sudah sejak lama dipercaya sebagai tempat pangelukatan oleh masyarakat setempat untuk membersihkan diri dari segala macam kekotoran, baik sekala maupun niskala.
“Penglukatan Pancoran Sapta Gangga merupakan satu-satunya pancoran yang menghadap ke utara. Jadi, sangat baik untuk pamayuh otonan, sangat baik untuk melukat sarwa leteh sarwa mala serta apabila terkena pengaruh-pengaruh magis. Banyak yang terbukti. Masyarakat yang sudah tangkil yang dulunya tidak bisa jalan, kini astungkara sudah kembali bisa jalan,” kata Sudarsa.
Dalam melaksanakan pangelukatan, pengelola Penglukatan Pancoran Sapta Gangga sudah memasang pengumuman terkait tata cara ataupun urutan melukat, terutama untuk masyarakat ataupun wisatawan yang baru pertama kali berkunjung. Seperti tata cara berbusana ketika melukat, urutan melaksanakan persembahyangan serta tata cara melukat.
Masyarakat dan wisatawan yang berkunjung ataupun melakukan pangelukatan tidak dikenakan tiket masuk, melainkan hanya punia seikhlasnya dengan membawa banten pejati dan canang sari untuk dihaturkan di palinggih pura dan pancoran.
“Untuk pengunjung yang baru pertama kali melakukan pangelukatan biasanya menghaturkan pejati di tempat persembahyangan di pura yang berstana Dewa Wisnu. Untuk selanjutnya, boleh menghaturkan canang saja,” jelas Sudarsa. (BC18)