Amlapura, balibercerita.com –
Desa Adat Bungaya merupakan salah satu desa adat tua di Bali. Desa ini bagian dari Kecamatan Bebandem yang memiliki sejumlah tradisi dan kesenian yang disakralkan masyarakat setempat. Salah satunya adalah Tari Baris Panah yang dipercaya merupakan untuk memohon kesuburan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa atau Tuhan Yang Maha Esa.
Tarian ini dipentaskan saat puncak upacara piodalan di Pura Bale Banjar Adat Tengah Bungaya yang bertepatan dengan hari raya Kuningan. Dalam artian, tarian ini rutin digelar setiap enam bulan sekali atau 210 hari sistem penanggalan Bali.
Tarian ini tergolong sakral karena para penari yang berasal dari pemuda desa yang terhimpun dalam organisasi Sorpa (Sor Bapa) ini terpilih melalui sebuah petunjuk niskala (wangsit) dari para sesuhunan Pura Banjar Tengah. Wangsit ini dimohonkan oleh pemangku pura melalui upacara matur piuning sebelum pementasan.
Pada umumnya, tarian ini dipentaskan oleh 6 orang pemuda dengan pakaian khas masyarakat Desa Adat Bungaya seperti, gelungan yang berhias bunga kamboja segar, berbusana kampuh dan kamben khas Desa Bungaya, tanpa pakaian atasan. Mereka menari selama 10 menit dengan membawa busur dan anak panah.
Tarian ini memiliki sarat makna dalam setiap gerakannya. Seperti gerakan ngeed yang bermakna belajar, mengibaskan oncer yang bermakna kebulatan tekad dan gerakan memanah yang bermakna fokus menatap hidup sesuai ajaran agama dan adat.
Gerakan yang paling mengandung nilai magis dari tarian ini adalah saat para penari membidik titik-titik kesuburan dari sembilan penjuru mata angin dan kemudian memanah bergantian untuk memohon Tirta Amertha.
Sebelum mereka membidik ke sembilan arah mata angin, gerakan diawali dengan mengarahkan anak panah ke tanah. Hal ini sebagai simbol memohon restu kepada ibu pertiwi yang merupakan sumber hasil bumi. Gerakan pamungkas dari tarian ini adalah membidik ke arah depan sebagai simbol membidik kesuburan yang ada di desa setempat berupa hasil bumi.
Gerakan-gerakan dalam tarian ini juga sebagai ungkapan rasa syukur kepada sang pencipta atas anugerah kesuburan yang dilimpahkan kepada masyarakat. Anugerah itu kemudian dikembalikan kepada pemiliknya melalui ritual tarian ini. (BC5)