Mangupura, balibercerita.com –
Bali ditargetkan menjadi barometer utama dalam rangka kegiatan performing right di Indonesia. Hal itu bertujuan untuk mewujudkan Bali sebagai daerah tujuan wisatawan internasional yang menghargai hak karya cipta. Hal ini mengingat jumlah wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Bali selama tahun 2023 ini mencapai 3,4 juta orang dan diprediksi mencapai 5,5 juta orang pada akhir tahun 2023 nanti.
Dengan tingginya wisman dan wisdom yang berkunjung Bali, tentu permintaan akan kebutuhan akomodasi wisata dan tempat hiburan wisata akan semakin meningkat. Akomodasi pariwisata merupakan salah satu unsur yang memiliki kewajiban dalam membayar royalti atas penggunaan lagu dan/atau musik termasuk dengan fasilitas yang terdapat di dalam hotel atau penginapan, mengingat musik dan/atau lagu merupakan bagian yang penting berupa hiburan yang diberikan kepada para tamu hotel dalam menikmati layanan dan fasilitas hotel.
Ketika penggunaan lagu dan/atau musik di ruang publik dilakukan, maka tentunya telah timbul hak ekonomi pencipta dan pemegang hak cipta dan pemilik hak terkait (para pemilik hak) yang telah digunakan oleh para pengguna komersial. Untuk mencapai hal itu, Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) terus gencar melakukan sosialisasi dan edukasi terkait dengan kolekting royalti lagu dan/atau musik sesuai dengan amanat undang-undang Nomor 28 tahun 2014 tentang hak cipta.
Pada Senin (11/9), LMKN melaksanakan sosialisasi dan edukasi di Bali, yang dihadiri oleh seluruh anggota Bali Hotel Association (BHA), anggota Persatuan Hotel dan Restaurant Indonesia (PHRI), Persatuan Artis, Musisi, Pencipta Lagu, dan Insan Seni Bali (Pramusti Bali), serta dihadiri Anggoro Dasananto selaku Direktur Hak Cipta dan Desain Industri Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual, Kementerian Hukum dan HAM RI.
Ketua LMKN Dharma Oratmangun menyampaikan, performing right bukan hanya menjadi isu nasional namun juga internasional. Karena itu, pihaknya terus memberikan edukasi dan dengan sosialisasi kepada seluruh kalangan khususnya para pengguna di Bali dan para pelaku industri hotel dan pariwisata pada umumnya. Sehingga diharapkan dapat memiliki pemahaman terkait kewajibannya dalam hal penggunaan lagu atau musik.
Dengan demikian, manfaat ekonomi yang menjadi hak dari para penerima hak cipta dan hak terkait dapat diberikan dengan baik, sesuai dengan ketentuan undang-undang. “Tentunya ini juga diharapkan dapat membangun kemitraan antara LMKN dengan lengguna komersial atas pemanfaatan produk hak cipta dan atau hak terkait di wilayah Bali sehingga pendapatan royalti,” terangnya.
Dengan menjadikan Bali sebagai barometer utama performing right di Indonesia, diharapkan Bali dapat menjadi percontohan bagi provinsi lainnya di Indonesia. Posisi LMKN dan LMK adalah menjembatani kepentingan pengguna karya cipta dan kepentingan pemilik hak cipta maupun hak terkait agar tidak terjadi proses pelanggaran hak cipta. Melalui upaya yang dilakukan, diharapkan akan membawa angin segar untuk Industri Musik tanah air.
Selaku Dewan Pembina LMK Pencipta Karya Cipta Indonesia, Enteng Tanamal menerangkan bahwa karya para seniman di Indonesia telah diatur dan dilindungi oleh pemerintah melalui UU Nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta, yang diperkuat dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik. Ada beberapa hak yang dilindungi dalam aturan tersebut, namun ada 2 hal yang dirasa paling penting, yaitu hak moral dan hak ekonomi. Adapun hak ekonomi meliputi hak menggandakan dan hak performing right.
Karena itu, setiap usaha yang mempergunakan karya cipta lagu dan musik berkaitan dengan bisnisnya, mereka memiliki kewajiban membayarkan royalti kepada pencipta lagu. Royalti itu berhak diterima sepanjang penciptanya masih hidup dan sampai ia meninggal yang kemudian dilimpahkan kepada ahli warisnya selama 70 tahun. “Kalau itu dipakai tidak untuk usahanya yang bersifat komersial, tentu tidak masalah. Tapi jika itu dipakai dalam kegiatan usaha, harus ada izin dan membayar royalti,” terang pria yang menggagas dan memprakarsai Performing Rights Indonesia sejak tahun 1987 ini. (BC5)