Mangupura, balibercerita.com –
Masyarakat maupun wisatawan yang sudah berkali-kali datang ke Pantai Kuta, tentu tidak asing lagi dengan nama Warung Odah. Warung “legend” ini berlokasi di belakang Pura Segara Desa Adat Kuta atau di depan bangsal nelayan.
Pedagang sate tersebut bisa dibilang menjadi salah satu pedagang sate terlama ada di Pantai Kuta. Sebab, Men Pindah selaku pemilik usaha itu sudah 19 tahun lamanya berjualan sate di lokasi tersebut. Bahkan ia sudah mempunyai pelanggan dari luar wilayah pulau Bali, seperti dari Jakarta, Surabaya, Bandung, dan daerah lainnya. Termasuk juga wisatawan asing yang juga sudah ketagihan merasakan sate babi ala Warung Odah, yang memiliki rasa manis, gurih, dan daging yang pulen.
Warung Odah sendiri ternyata bukan serta merta diberikan oleh Men Pindah. Nama tersebut justru muncul dari pemberian pelanggannya yang menjuluki usaha itu sebagai warung odah. Hal itu didasari atas kondisi si pemilik yang sudah odah atau nenek-nenek, yang saat ini sudah berumur 65 tahun lebih. Karena keramahan Men Pindah, warung tersebut terus eksis dan selalu dikunjungi pelanggannya, saat berlibur ke Bali. Julukan tersebut kemudian terus melekat hingga saat ini dan menjadi pengingat bagi pelanggannya.
Satu porsi tipat sate yang dijual Men Pindah dihargai sebesar Rp 20 ribu untuk masyarakat lokal. Sedangkan untuk wisatawan domestik dan asing, dalam satu porsi seharga Rp 25 ribu. Yang membedakan harga satu porsi itu adalah dari jumlah sate yang dihidangkan. Sebelum pandemi melanda, jumlah daging sate yang dihabiskan per hari bisa mencapai 15 kg. Setelah pandemi muncul, usaha tersebut sempat tutup setahun. Kemudian di masa pemulihan saat ini, pihaknya hanya mampu menghabiskan 2 kg daging per hari.
Men Pindah berasal dari Banjar Tegal, Kota Denpasar. Sehari-hari, ia mengaku datang ke Kuta dengan jemputan ojek. Jam buka warung tersebut buka dari pukul 9 pagi sampai jam 6 sore. Sebelum berdagang di Pantai Kuta, ia selama ini berjualan di arena tajen (sabung ayam) menjadi pedagang soto. Karena arena tajen tersebut sudah gulung tikar, pihaknya kemudian pindah ke Jimbaran dan berujung ke Kuta, sampai saat ini.
Menariknya, ia mengaku bahwa berjualan sate bukanlah hanya dilakukan pihaknya. Ia bersama saudara, keponakan, dan iparnya, sama-sama menjadi penjual sate pada lokasi berbeda. Hal itu didasari atas kegemaran dan potensi penghasilan berdagang sate sejak dulu. Terkecuali satu orang adiknya yang memilih berjualan nasi be guling di depan Banjar Gerenceng, Denpasar. (BC5)