Mangupura, balibercerita.com –
Sebagai lembaga bantu pemerintah non-APBN yang memiliki kewenangan dalam hal pengelolaan royalti hak cipta lagu dan/atau musik meliputi penarikan, penghimpunan, dan pendistribusian dalam penggunaan lagu dan/atau musik secara komersial (performing right) di tempat umum, LMKN (Lembaga Manajemen Kolektif Nasional) memberikan atensi terkait potensi royalti publik performing di Bali. Dari data LMKN, estimasi royalti pertahun di Bali mencapai Rp32.271.520.000.
Sayangnya, baru sekitar Rp1,5 miliar potensi yang baru bisa diperoleh. Padahal sangat banyak akomodasi wisata dan tempat hiburan wisata yang memiliki kewajiban menyetorkan royalti, atas penggunaan karya cipta lagu dan musik yang bersifat komersial.
Ketua Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) Hak Terkait Produser Fonogram Sentral Lisensi Musik Indonesia (SELMI), Jusak I Sutiono memaparkan, berdasarkan data terakhir yang diperoleh dari Dinas Pariwisata Provinsi Bali, masih banyak akomodasi wisata maupun fasilitas lainnya yang belum sadar membayarkan royalti penggunaan karya cipta lagu dan musik yang sifatnya untuk komersial.
Dari 3.014 hotel berbintang dan nonbintang di Bali, baru 109 hotel yang sudah mengantongi lisensi. Kemudian, 10 restoran dari 3.245, 1 bar dari 581, 1 mall dari 15, 20 pertokoan dari 386, 1 executif karaoke dari 14 yang ada. Sedangkan yang lainnya belum sama sekali. “Memamg masih banyak pekerjaan kita kedepannya. Kami sudah meminta tolong ini juga kepada PHRI dalam hal pelisensian,” ujarnya
Berdasarkan kalkulasi, dari 319 hotel berbintang yang memiliki 38.427 kamar dengan rata-rata Rp6 juta per hotel, maka terdapat Rp1.914.000.000 estimasi royalti pertahun. Kemudian, dari 2.695 hotel nonbintang dengan 43.712 kamar, jika dirata-ratakan Rp1 juta per hotel, maka terdapat Rp2.695.000.000 estimasi royalti pertahun. Dari 3.245 restoran dengan 118.100 dengan rata-rata 40 kursi per outlet terdapat estimasi royalti Rp14.172.000.000 per tahun.
Kemudian, 581 bar dengan rata-rata 50 meter persegi per outlet terdapat estimasi royalti Rp10.458.000.000 per tahun. Dari 386 pertokoan dengan rata-rata 40 meter persegi per outlet, terdapat potensi royalti Rp123.520.000 per tahun. Dari 15 mall dengan rata-rata 10 meter persegi per outlet, terdapat estimasi royalti Rp150.000.000 per tahun. Dari 23 diskotek dengan rata-rata 100 meter persegi per outlet, terdapat potenai royalti Rp989.000.000 per tahun.
Dari 20 karaoke familly dengan 200 room dengan rata-rata 10 room per outlet, terdapat potensi royalti Rp720.000.000 per tahun. Lalu, 14 karaoke executif dengan 70 room, rata-rata 5 room per outlet, maka terdapat potensi royalti Rp1.050.000.000 per tahun.
Secara total, terdapat estimasi royalti per tahun di Bali mencapai Rp32.271.520.000. Namun, sejauh ini baru sekitar Rp1,5 miliar potensi yang baru diperoleh. Untuk itu, pihaknya terus mengejar hal itu, termasuk dengan melalui sosialisasi edukasi terkait royalti kepada pihak akomodasi wisata, usaha wisata dan sektor terkait lainnya. Sehingga para pencipta lagu mendapatkan hak royalti yang seyogyanya diberikan oleh pihak terkait.
Kepala Bagian Program dan Pelaporan Direktorat Jendral kekayaan Intelektual Kemenkumham RI Agung Damar Sasongko menerangkan bahwa penarikan royalti penggunaan karya cipta lagu dan musik dari para pengguna komersial bertujuan untuk memajukan industri musik Indonesia dan mensejahterakan pencipta, pelaku, musisi, dan pihak terkait lainnya. Namun, LMKN tentu tidak bisa berdiri sendiri dan memerlukan dukungan dari pemerintah maupun pemerintah daerah.
Pemilik atau pengelola pusat pelayanan publik maupun komersial mempunyai kewajiban pembayaran royalti ketika vendor menggunakan musik dalam kegiatan bisnisnya. Di sinilah diperlukan peranan pemerintah untuk memberikan penyadaran dan mendukung untuk pembayaran royalti tersebut.
“Pemerintah, pemerintah daerah, maupun seluruh pihak yang berkepentingan terkait, harus saling menyadari, sehingga ini bisa mensejahterakan musisi, pemegang hak, dan memajukan industri musik tanah air,” ucapnya. (BC5)