Pergeseran Seni Calonarang Kian Mengkhawatirkan

0
92
Calonarang
Narasumber membahas nilai seni pertunjukan calonarang dalam FGD MKB, di Kantor Disbud Bali. (ist)

Denpasar, balibercerita.com –

Seni calonarang masa kini mengalami perubahan yang menghawatirkan banyak orang. Contohnya, cerita penyalonarangan Kautus Rarung, Tanting Mas, Katundung Ratna Mangali, Bahula Duta, Dayu Datu dan Pengesengan Bingin. Dalam pementasannya mempertunjukkan kekebalan yang sedikit vulgar dan terkesan show off orang-orang sakti. 

Padahal, calonarang sendiri awalnya merupakan ilmu hitam simbolis. Hal itu terungkap dalam Focus Group Discussion (FGD) Seni Pertunjukan Calonarang, yang digelar Majelis Kebudayaan Bali (MKB) Tingkat Provinsi Bali, di Kantor Disbud Provinsi Bali, Jumat (3/3). FGD tersebut menghadirkan narasumber, Prof. Dr. I Wayan Dibia (budayawan) dan Dr. I Komang Indra Wirawan, S.Sn, M.Fil.H. (akademisi/pegiat calonarang).

Ketua Harian MKB Provinsi Bali Prof. Dr. I Komang Sudirga menyampaikan, dalam FGD ini dicari rumusan dan masukan-masukan dari peserta terkait sudut pandang seni pergelaran calonarang agar tidak melenceng dari nilai-nilai kesakralannya. Dengan demikian, seni pertunjukan calonarang tetap menjadi seni tontonan yang sarat tuntunan. 

Baca Juga:   Angkat Citra Endek Bali Melalui KTT G20 

Fenomena calonarang di masyarakat yang dirasakan ada penyimpangan. Untuk itu, sesuai amanat perda tentang penguatan dan pemajuan kebudayaan, para pemegang kebijakan menekankan penyajian calonarang tetap sesuai teks sastra, tatwa dan sradha. Agar calonarang ini menjadi tuntunan yang benar di masyarakat. 

“Para narasumber menjelaskan, calonarang itu ada yang klasik, pembaruan, prembon, bondres. Disamping itu ada fenomena yang tidak lepas dari aspek religiusnya. Aspek tatwa dan sradha yang perlu dikembalikan pada esensi hubungan religi pada seni itu sendiri. Harapannya, dengan masukan dari para peserta ini kita akan inventarisir terus kita buatkan panduan dan akan kita distribusikan di masing-masing desa pakraman sebagai acuan, agar pihak penyelenggara utamanya di mana pementasan ini digelar, sebagai pertunjukan sakral yang memiliki ruang tertentu dan tidak sembarangan,” tutur Prof Sudirga.

Baca Juga:   Ini, Ritual Pembersihan Pascakasus Gantung Diri di Jembatan Tukad Bangkung

Lebih lanjut, ia menambahkan, FGD kali ini telah mendapat masukan serta merumuskan, seiring pesatnya teknologi informasi maka perubahan sikap secara kultural, sosial, dan spiritual telah melanda seni pertunjukan Bali tak terkecuali seni calonarang sebagai seni pertunjukan klasik yang mengalami banyak perubahan baik bentuk, kandungan, dramatik, dan tata penyajian.

Perubahan calonarang melalui pembaharuan dan pembauran bentuk berakibat pada pembauran identitas calonarang. Dominasi calonarang mondres telah menurunkan keagungan dramatari calonarang yang cenderung menjadi seni sekuler menghibur. Dominasi demonstrasi kekebalan pada semua jenis pertunjukan calonarang menimbulkan benturan antara atraksi teatrikal simbolis dengan aksi-aksi realis.

Baca Juga:   Indahnya Toleransi, Palebon Cokorda Pemecutan XI Akan Libatkan Warga Islam Kepaon

Untuk mensinergikan antara kreativitas dengan religiusitas menjadi sangat penting artinya bebas berkreativitas tanpa kehilangan pakem sebagai sumber nilai. Etika nebek (menikam) rangda di “terajang” mesti ditabukan karena tempat ketinggian titi gangsa tersebut sebagai simbol Gunung Kailasa. Rangda boleh ditikam ketika turun ke pertiwi dan itupun sudah didahului dengan pengruwakan seperti menebang pohon pepaya dan sebagainya.

Sementara itu, narasumber Komang Indrawan (Mang Gases) menekankan, seni pertunjukan calonarang perlu tata kelola penyajian yang benar. “Seperti apa pepeson, pengawak, pengecet, pemegat, klasik atau modern. Kita harapkan si pelaku, penonton, penyelenggara, prajuru, pemegang kebijakan, apabila terjadi penistaan budaya atau agama, siapa yang bertindak? Jadi, PHDI, MKB, MDA harus bersinergi,” terangnya. (BC17)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini