Mesantalan, Tradisi Unik Sebagai Wujud Syukur Hasil Panen di Desa Apit Yeh 

0
127
Mesantalan
Tradisi mesantalan atau perang ketupat di Desa Apit Yeh, Karangasem. (ist)

Amlapura, balibercerita.com – 

Masyarakat di wilayah Kabupaten Karangasem memiliki sejumlah tradisi unik sebagai ungkapan rasa syukur kepada Sang Pencipta. Salah satunya, tradisi mesantalan atau perang ketupat di Desa Adat Apit Yeh, Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem. Tradisi tersebut pada umumnya dilaksanakan setiap satu tahun sekali, bertepatan pada rahina Kajeng Kliwon Sasih Sadha.

Seperti namanya, perang ketupat, tentunya media yang dipakai dalam tradisi tersebut berupa ketupat hasil panen warga, yang berasal dari urunan masyarakat setempat dengan jumlah masing-masing akelan atau 12 biji. Sebelum dipergunakan sebagai sarana perang, ketupat dihaturkan terlebih dahulu pada saat pelaksanaan mecaru godel di desa setempat.

Mecaru godel adalah prosesi mengarak godel (anak sapi) berkeliling desa, yang sebelumnya telah dilukai dan membuat darah godel bercucuran selama prosesi. Hal itu bertujuan untuk nyomya atau menetralisir unsur bhuta kala, agar pelaksanaan tradisi mesantalan tidak menemukan gangguan dan godaan. Dipilihnya sapi sebagai media caru dikarenakan hewan itu terkait dengan aktivitas membajak sawah.

Baca Juga:   Kesakralan di Balik Keindahan Kawasan Pura Kedatuan Raksa Sidhi

Dalam pelaksanaannya, para krama dibagi menjadi 2 kelompok yang saling berseberangan. Mereka nantinya akan saling berperang dengan melempar ketupat satu sama lainnya di catus pata desa (perempatan agung), dengan tanda pembunyian kentongan. Kendati bertajuk perang, namun tradisi itu pada dasarnya merupakan ungkapan rasa syukur masyarakat ke hadapan Dewi Sri yang merupakan Dewi Kemakmuran, atas hasil pertanian yang diinginkan masyarakat. Hal itu juga sebagai sebagai permohonan untuk menghindarkan hal-hal negatif yang bisa terjadi di desa setempat.

Baca Juga:   Peringati Detik-detik Waisak 2566, Umat Buddha Lakukan Meditasi 

Menurut Kelian Desa Adat Apit Yeh, I Nengah Kuta, tradisi itu sudah ada sejak turun-temurun di desanya dan selalu dilaksanakan tiap 15 hari setelah dilakukannya prosesi mabiukukung di sawah. Sebelumnya, perang ketupat dilakukan oleh para krama yang sudah berkeluarga. Namun belakangan tradisi itu diwakili para yowana (pemuda desa). “Jadi walaupun ini namanya perang, tetapi terdapat kegembiraan di dalamnya. Sebab ini adalah bentuk wujud rasa syukur krama,” ucapnya.

Dalam pelaksanaan tradisi itu, peserta diawasi oleh pecalang dan prajuru desa setempat. Para peserta tidak diperkenankan untuk melempar ketupat kepada pecalang maupun prajuru. Apabila itu dilanggar, maka mereka akan akan dikenakan sanksi oleh desa adat yang disesuaikan dengan besar dan kecilnya kasus.

Baca Juga:   Legenda Perahu Anugerah Dewa Siwa di Pura Batu Medau

Dalam tradisi itu juga dilaksanakan prosesi maperani atau makan bersama yang dilaksanakan usai mesantalan. Para peserta akan saling bersalaman sebelum melakukan maperani sebagai bentuk kebersamaan dan kekompakan warga, agar peserta tidak memiliki rasa emosi setelah tradisi dilaksanakan.

Saat angka kasus Covid-19 meningkat, tradisi ini sempat tidak dilaksanakan. Hal itu kemudian berujung pada sejumlah kendala yang dihadapi petani setempat seperti hasil panen yang berkurang, penjualan tidak bagus, terkendala pupuk, permasalahan air irigasi, serta masalah hama. Padahal sebelumnya para petani hampir tidak pernah menemukan kendala saat menjelang panen, ketika tradisi itu dilaksanakan. (BC5)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini