Mangupura, balibercerita.com –
Saat Pangerupukan (sehari sebelum Nyepi) pada Rabu (3/3), Desa Adat Jimbaran melaksanakan tradisi magegobog padu telu di Banjar Taman Griya, Jimbaran. Tradisi itu layaknya sebuah perang antarkelompok pemuda yang melambangkan unsur api, air dan angin. Tradisi ini telah berlangsung sejak turun temurun.
Bendesa Adat Jimbaran, I Gusti Made Rai Dirga menerangkan, pada dasarnya antara magegobog dengan Pangerupukan memang memiliki kemiripan karena dilaksanakan pada saat sandikala (jelang malam hari) saat sehari menjelang hari raya Nyepi. Namun keduanya memiliki konsep dan makna yang berbeda. Magegobog merupakan tradisi di Jimbaran berupa menyuarakan beragam bunyi-bunyian di tempat tertentu atau dianggap sebagai ruang yang mengandung unsur butha kala. Sedangkan Ngerupuk di Jimbaran memiliki makna menyeruduk secara membabi buta.
“Magegobog ini sudah ada sejak dulu, sebelum munculnya istilah Pangerupukan. Itu merupakan unsur penetralisir melalui suara, yang kemudian dibawa berkeliling desa. Sarana magegobog pada umumnya terdiri dari kekepuak, tetekan (kulkul kecil), bunyi-bunyian lain, obor, prakpak, kesuna (bawang putih), mesui, jangu, dan beras kuning,” terangnya.
Semula tradisi tersebut dilakukan di semua banjar yang ada di Jimbaran. Karena pengaruh pandemi, beberapa tahun ini tradisi itu hanya dilaksanakan di 2 banjar dengan skup kecil. Tahun ini, tradisi itu kembali dilaksanakan di masing-masing banjar di Jimbaran yang berjumlah 13 banjar adat.
Hal spesialnya, tahun ini tradisi itu diangkat secara khusus oleh Sekaa Teruna (ST) Manik Giri, Banjar Taman Griya, Jimbaran yakni dikonstruksikan menjadi pertunjukan fragmentrai yang mengadopsi ide mepadu telu, yang memiliki makna mempertemukan dua kelompok yang memiliki persoalan, dengan kelompok penengah. Kehadiran pihak ketiga itu bertujuan untuk menyelesaikan sengketa secara adat dan memastikan isu yang berkembang menjadi benar duduk permasalahannya. “Tahun ini tema yang diangkat adalah Rumaruh Wiweka Jati. Rumaruh artinya mencari, Wiweka artinya kebenaran logika, dan Jati artinya sesungguhnya. Jadi Rumaruh Wiweka Jati artinya mencari kebenaran yang sesungguhnya,” jelasnya.
Magegobog Padu Telu sendiri dinilai sangat relevan dalam mencerminkan situasi saat ini, berkaitan dengan pandemi Covid-19. Isu yang berkembang dinilai masih simpang siur, sehingga perlu dicarikan penyelesaian secara tradisional Bali. Semua pihak perlu dipertemukan, agar informasi yang berkembang tidak hanya bersifat linier atau satu arah saja. Hal itu memerlukan peran pihak ketiga sebagai penengah, agar isu yang berkembang menjadi jelas dan tidak spekulatif.
Prosesi magegobog padu telu dimulai sekitar pukul 19.00 Wita, dengan diawali berkeliling di wilayah banjar untuk memberikan suara di tempat sunyi dan menyanyikan lagu Teng-teng Nyer. Para pemuda akan kembali bertemu di perempatan banjar untuk bersiap melakukan tradisi tersebut. Di sana mereka akan menampilkan fragmen magegobog padu telu, sehinggga menjadi suatu seni pertunjukan. Seluruh peserta dari ST Manik Giri dibagi menjadi tiga kelompok yang masing-masing menyimbulkan unsur api dengan membawa prakpak yang dibakar, unsur angin melalui kipas yang dikibaskan, dan unsur air dengan membawa air yang dicipratkan. Setelah kelompok air dan api berperang, nantinya hal itu akan ditlnetralisir secara simbolis oleh kelompok angin.