Semarapura, balibercerita.com –
Hal paling utama dalam sebuah yadnya adalah satwika atau ketulusan dan keikhlasan. Artinya, sebuah yadnya diharapkan dilaksanakan sesuai kemampuan. Jangan sampai ada unsur keterpaksaan, malas dan gengsi, yang justru akan mengurangi, bahkan mengaburkan konsep dan filosofi yadnya itu sendiri.
“Semiskin-miskinnya orang Bali, kalau sudah memahami konsep ini pasti bisa melaksanakan yadnya. Kecuali kalau memang pelit. Kalau memang pelit makilit, kalaupun punya, lain lagi hitung-hitungannya,” ujar Ida Mpu Bhujangga Dharma Daksa Kusuma dari Griya Lingga Bhuana, Desa Tohpati, Kecamatan Banjarangkan, Kabupaten Klungkung.
Menurut Ida Mpu, yadnya diartikan sebagai pengorbanan tulus ikhlas atas segala anugerah yang telah diberikan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Melalui yadnya, Tuhan akan melimpahkan amerta. Dengan yadnya pula akan memberikan kehidupan dan kebahagiaan. Banyak pustaka suci seperti Sundarigama maupun Sri Jaya Kasunu yang menyebutkan batapa pentingnya pelaksanaan yadnya. “Bahkan Tuhan pun dalam menciptakan alam ini didasari atas yadnya,” katanya.
Ida Mpu mengakui, dalam konteks kekinian, sekecil apapun yadnya, pasti ada perlu biaya. Dalam hal ini ia mengingatkan bahwa orang Bali sangat fleksibel dalam melaksanakan yadnya. Tidak perlu besar kalau tidak mampu. Sebaliknya, jangan kecil kalau sudah mampu. Ada tiga tingkatan yadnya dari tingkat paling sederhana hingga kompleks yakni nista, madya dan utama. Jadi masalahnya tinggal bagaimana umat Hindu di Bali menyesuaikan diri dengan kemampuan.
Di sisi lain, fleksibilitas dalam pelaksanaan yadnya juga tercermin dalam komunitas adat di Bali. Jika di suatu desa adat atau banjar sedang digelar karya atau upacara besar, warga yang menjadi pejabat atau tergolong kaya kemungkinan waktunya untuk bergotong royong mempersiapkan sarana upacara akan sedikit. Apalagi, proses ngayah membutuhkan waktu hingga sebulan. Maka, diharapkan mereka bisa medana punia atau menyumbang uang atau keperluan upacara lainnya lebih banyak dibandingkan warga desa adat pada umumnya.
“Selain dana punia, pejabat atau pengusaha juga perlu memohon permakluman kepada kerabat dan masyarakat bahwa mereka terkendala waktu dalam ngayah. Dan, dana punia itu sebagai bentuk menghargai waktu dan tenaga yang telah diberikan krama lainnya untuk mensukseskan sebuah karya. Orang Bali pasti mengerti hal-hal seperti ini,” kata Ida Mpu. (BC13)