balibercerita.com –
Tak hanya aroma kopi yang menggoda, semangat kemandirian juga nampak di setiap sudut Difel Café, sebuah kedai kopi yang berdiri di Graha Nawasena, Jalan Kamboja Nomor 4, Denpasar. Di balik meja racik, para barista difabel dengan percaya diri menyajikan kopi hasil tangan mereka sendiri.
Inisiatif inspiratif ini lahir dari program corporate social responsibility (CSR) Pertamina Patra Niaga Fuel Terminal Sanggaran melalui pemberdayaan ekonomi kreatif penyandang disabilitas bertajuk “DIFEL (Difabel) Café.” “Dengan keterbatasan, kami tetap bisa berkarya dan menunjukkan kepada masyarakat bahwa kami mampu,” kata I Nyoman Juniartha atau Jigo, Ketua Kelompok Usaha Bersama (KUBE) Gantari Jaya sekaligus barista difabel penyandang disabilitas fisik yang kini menjadi wajah Difel Café.
Program Difel Café bermula pada 2023 dari focus group discussion (FGD) bersama Sahabat Disabilitas Kota Denpasar. Pertamina yang telah lama menjalankan program “Sahabat Disabilitas” menangkap aspirasi itu, lalu mewujudkannya dalam bentuk cafe yang sepenuhnya dikelola oleh komunitas difabel.
Dalam pelaksanaannya, Pertamina menggandeng Dinas Sosial Kota Denpasar, Yayasan Dompet Sosial Madani Bali, dan ARTne Coffee Tabanan. Tak hanya memberikan pelatihan barista profesional selama enam bulan, Pertamina juga melengkapi sarana operasional seperti mesin kopi, bahan baku, dan seragam agar kelompok dapat mengelola usahanya secara mandiri.
Lokasi kafe yang strategis di Graha Nawasena, gedung hibah dari Dinas Sosial Kota Denpasar yang dikelilingi sekolah dan universitas menjadi pusat aktivitas ekonomi baru yang inklusif bagi komunitas difabel.
Salah satu barista, Ayu, penyandang low vision berusia 53 tahun, menyebut pengalaman ini sebagai anugerah. “Saya dulu hanya terapis pijat. Tapi kini juga bisa jadi barista. Pertamina memberi saya kesempatan kedua untuk berkarya. Walaupun usia saya sudah 50-an, tidak ada kata terlambat untuk belajar,” ujarnya.
Sementara Yudha, barista tuli menunjukkan bahwa keterbatasan bukan penghalang untuk berprestasi. “Kami belajar enam bulan. Sekarang saya bisa menyajikan kopi dengan percaya diri. Pesan saya, jangan malu, jangan takut. Kita bisa!” katanya lewat bahasa isyarat.
Difel Café kini menjadi contoh nyata bagaimana program tanggung jawab sosial dapat berdampak langsung pada peningkatan kemandirian kelompok difabel. Dalam sehari, kafe ini mampu menjual 20–50 gelas kopi dengan omzet Rp750 ribu hingga Rp2 juta. Menu yang disajikan beragam, mulai dari latte, Vietnam drip, matcha, hingga varian non-kopi.
Pertamina juga mendorong inovasi lanjutan melalui “Difel Pastry,” yang melibatkan keluarga penyandang disabilitas dalam pembuatan croissant, puff, dan coffee bun. Tahun ini, kelompok bahkan melakukan benchmarking ke industri kopi di Tabanan untuk mempelajari proses kopi dari hulu hingga hilir.
Bagi Pertamina, Difel Café bukan sekadar proyek sosial, melainkan upaya membangun ekosistem ekonomi inklusif yang berkelanjutan. “Kami percaya setiap individu memiliki potensi. Melalui Difel Café, kami ingin menghadirkan ruang kesetaraan, peluang kerja layak, sekaligus mendukung pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya pengurangan kesenjangan dan pertumbuhan ekonomi inklusif,” ungkap Ahad Rahedi, Area Manager Communication, Relations & CSR Pertamina Patra Niaga Jatimbalinus.
Selain pemberdayaan, Pertamina juga menerapkan prinsip ramah lingkungan di setiap kegiatan, seperti penggunaan paper cup dan sedotan bambu sebagai bentuk komitmen pada keberlanjutan.
Difel Café tak hanya menjadi tempat minum kopi, tetapi juga simbol perjuangan, keberanian, dan kesetaraan. Di setiap cangkir yang tersaji, ada cerita tentang bagaimana keterbatasan bisa berubah menjadi kekuatan. “Dulu saya pikir hidup saya mentok. Tapi ternyata, dari kopi saya bisa punya mimpi lagi,” kata Ayu tersenyum.
Melalui Difel Café, Pertamina membuktikan bahwa tanggung jawab sosial bukan sekadar memberi bantuan, tetapi menciptakan peluang nyata agar sahabat disabilitas bisa berdiri sejajar dan berdaya di tengah masyarakat. (BC5)
















