Tumpek Kuningan atau Yellow Day: Tradisi Suci dalam Balutan Tren Visual

0
146
Kuningan
Dr. Putu Eka Sura Adnyana. (ist)

Oleh:
Dr. Putu Eka Sura Adnyana
Ketua Bidang Tradisi, Budaya, dan Keagamaan DPD KNPI Bali

Tumpek Kuningan, atau lebih dikenal sebagai hari raya Kuningan, merupakan bagian integral dari rangkaian perayaan Galungan dalam tradisi Hindu Bali. Dirayakan setiap Saniscara Kliwon wuku Kuningan, atau 10 hari setelah pelaksanaan hari suci Galungan.

Dalam tradisi kebudayaan masyarakat Bali, dirayakannya dengan persembahan canang, tamiang, endongan, serta banten khas dengan tambahan nasi kuning yang melambangkan kemakmuran dan rasa syukur. Persembahyangan dilakukan pada pagi hari karena dalam lontar Sundarigama disebutkan, setelah tengah hari atau lewat pukul 12.00, para roh leluhur telah kembali ke alam niskala (sunya).

Baca Juga:   Jalur Menuju Gate Tol Benoa Dilakukan Contraflow Saat Pamelastian Jelang Nyepi

Hyawa amuja bebanten, kalangkahin tajeg Sang Hyang Aditya asukjuga kawengania, Apan yan tajeg Sang Hyang Surya, Dewata amoring swarga “Janganlah menghaturkan banten Kuningan setelah tengah hari, karena Ida Batara telah kembali ke surga loka.”

Pada hari tersebut, umat Hindu menghaturkan persembahan sebagai ungkapan terima kasih dan memohon keseimbangan rohani. Ia bukan sekadar ritual, tetapi sarana penyadaran diri, penguatan nilai, dan penghubung spiritual antargenerasi.

Namun, dalam beberapa tahun terakhir, muncul fenomena “Yellow Day” sebuah kampanye visual di masyarakat, terutama generasi muda, diajak memakai busana kuning sebagai simbol semangat Tumpek Kuningan. Tujuannya mulia, menarik perhatian generasi milenial agar tidak melupakan hari suci ini. Namun, apakah pendekatan ini benar-benar membangkitkan kesadaran spiritual, atau hanya menjadikan budaya sebagai ajang gaya?

Baca Juga:   Permainan Megangsing di Buleleng Masuk WBTB

Di satu sisi, “Yellow Day” bisa dilihat sebagai inovasi kultural, upaya kreatif agar tradisi tetap hidup di tengah arus modernisasi. Warna kuning yang melambangkan kemuliaan dan kebaikan menjadi penanda visual yang mudah dikenali, bahkan di media sosial. Ini menciptakan ruang baru bagi partisipasi generasi muda, yang sebelumnya mungkin merasa asing dengan ritual keagamaan.

Namun di sisi lain, pendekatan ini rentan menjadi komodifikasi budaya, di mana makna Tumpek Kuningan direduksi menjadi warna pakaian, konten Instagram, Tiktok, atau tren sesaat. Tanpa pemahaman yang mendalam tentang nilai spiritualnya, “Yellow Day” bisa berubah menjadi formalitas kosong.

Baca Juga:   Karya Ngenteg Linggih Wraspati Kalpa di Banjar Adat Padang Bali

Tradisi yang seharusnya dijalankan dengan keheningan dan perenungan bisa tergantikan oleh euforia visual dan eksistensi digital. Apakah cukup memakai busana warna kuning lalu merasa telah menjalankan Tumpek Kuningan? Apakah tradisi harus terus disederhanakan agar “ramah pasar”?

Budaya memang harus beradaptasi, tapi adaptasi tanpa kedalaman akan menggerus makna. “Yellow Day” seharusnya bukan pengganti, melainkan pintu masuk menuju pemahaman yang lebih mendalam tentang Tumpek Kuningan, tentang pentingnya keharmonisan hidup, penghormatan pada leluhur, dan ketulusan dalam menjalani kehidupan yang seimbang secara sekala (fisik) dan niskala (spiritual).

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini