balibercerita.com –
Serangkaian Dies Natalis ke-62 Universitas Hindu Indonesia (UNHI), digelar acara Bincang Pustaka yang mengulas buku bunga rampai berjudul Seabad Relokasi Batur. Acara dilangsungkan di Aula Indraprasta Gedung Rektorat UNHI, Kamis (2/10).
Setidaknya 26 penulis terlibat dalam buku tersebut. Mereka mengkaji peradaban Batur dari berbagai sudut pandang. Bincang Pustaka ini juga menghadirkan tiga pembicara yakni Dr. Drs. Dewa Ketut Budiana, M.Fil. H., selaku Ketua Yayasan Pendidikan Widya Kerthi, Guru Besar Bidang Sastra Jawa Kuno, Prof. Dr. I Wayan Suka Yasa, M.Si., dan IK Eriadi Ariana yang merupakan Jero Penyarikan Duuran Batur. Hadir juga, Dirjen Bimas Hindu Kementerian Agama, Prof. Dr. Drs. I Nengah Duija, M.Si., yang memberikan opening speech. Bincang Pustaka dipandu moderator Komang Agus Triadi Kiswara, S.Pd., H., M.Pd.
I.K Eriadi Ariana menyampaikan bahwa buku ini ditulis sebagai bentuk peringatan terhadap peristiwa yang terjadi seabad lalu yakni tahun 1926 yang dikenal dengan Rarud Batur. Peristiwa erupsi Gunung Batur ini mengharuskan masyarakat Batur berpindah mencari lokasi baru karena lava pijar yang keluar dari perut Gunung Batur kala itu berhasil menenggelamkan seluruh peradaban Desa Batur Let.
“Buku ini berupaya menjejak peristiwa tersebut sembari merefleksikan kembali nilai-nilai yang terkandung dalam peristiwa Rarud Batur,” papar Eriadi Ariana yang juga penulis buku Ekologisme Batur.
Ia menambahkan, peristiwa Rarud Batur juga memberikan informasi perihal upaya penyelamatan benda-benda pusaka yang sakral dari Pura Batur. Tim evakuasi saat itu berhasil menyelamatkan tinggalan seperti arca perwujudan, pusaka, pustaka, termasuk rangka Jero Agung (Bale Pesamuhan) Pura Ulun Danu Batur. Benda-benda yang disakralkan ini ditempatkan di Desa Bayunggede.
“Meskipun benda-benda sakral berhasil diselamatkan, namun saat itu tidak semua warga Batur bersedia direlokasi. Banyak dari mereka ingin bertahan di desa lama, alasan ini mungkin terkait dengan keyakinan bahwa desanya adalah kawasan suci. Meski demikian, akhirnya pada tahun 1928 Desa Batur resmi direlokasi ke Kalanganyar,” jelasnya.
Eriadi juga memaparkan sisi lain dari peristiwa Rarud Batur yakni peran jejaring persaudaraan lintas desa yang solid yang sering disebut Batun Sendi Bhatari Sakti Batur. Batur memiliki aliansi antardesa yang bernama Batun Sendi, aliansi ini diikat dengan situs, ritus, serta pranata adat yang kompleks. Mereka adalah komunitas “ring satu” yang menyokong setiap denyut peradaban Batur. Anggota Batun Sendi Batur terdiri dari Desa Bayunggede, Buahan, Selulung, Sekardadi, Bonyoh, dan Sribatu.
“Desa-desa Batun Sendi ini adalah tenaga pertama yang membantu evakuasi, termasuk evakuasi benda-benda sakral. Kekerabatan Batur dengan Batun Sendi-nya terjalin apik sampai sekarang. Semoga melalui buku ini, kesadaran kolektif ini tetap terjaga dengan baik,” bebernya.
Dilanjutkan oleh Eriadi, peristiwa Rarud Batur memberikan dua pesan penting yakni kebertahanan dan keberlanjutan. Selama ini kita masih mempertahankan warisan nilai masa lalu di Batur, namun juga mesti memastikan keberlanjutan di tengah berbagai tantangan yang terjadi. Apalagi, lanjutnya, Batur saat ini seperti benteng terbuka yang membuka ruang bagi mereka-mereka yang berinvestasi. Akibatnya investasi yang nyaris tak terkendali, akhirnya lambat laun wajah Batur semakin berubah. “Ini tantangan kami ke depan, semoga kami kuat menghadapi perubahan yang terjadi di Batur,” paparnya.
Narasumber lain, Dr. Dewa Ketut Budiana lebih menekankan peran buku Seabad Relokasi Batur sebagai sebuah dokumentasi sejarah yang membangun kesadaran generasi selanjutnya perihal peristiwa yang pernah terjadi di Batur. Selain itu, bencana erupsi Gunung Batur memberikan dampak baik secara kebudayaan, adat, ritual, dan bentuk kehidupan tradisional yang berjalan di Batur.
“Buku ini memberikan informasi penting perihal peristiwa yang terjadi di masa lalu sehingga generasi sekarang dan mendatang bisa memahami berbagai perubahan, tantangan dan bagaimana cara masyarakat Batur bertahan memperkuat identitas budaya, dan kesadaran lingkungan di Batur,” paparnya.
Sementara, Prof. I Wayan Suka Yasa juga turut memberikan apresiasi yang tinggi dari lahirnya buku Seabad Relokasi Batur karena buku ini mengungkap berbagai aspek dari kesejarahan, filosofi, sosial, budaya, sampai pada aspek ekonomi dari peradaban Batur. Namun, Prof. Suka Yasa memberikan catatan penting bahwa kajian perihal teologi Batur juga penting disajikan dalam buku tersebut karena selama ini teologi umat Hindu di pegunungan belum digarap secara lengkap. Ia juga menyoroti pandangan mekanis dunia modern yang menganggap alam mati sehingga bisa dieksploitasi. Padahal, bagi masyarakat Batur, Gunung dan Danau Batur adalah ibu peradaban. Jika alam diperlakukan sebagai komoditas, maka seolah Dewi Danu dianggap telah mati.
“Sekarang di Batur banyak sekali tempat nongkrong dan coffee shop yang menutupi wajah Gunung Batur. Ini menunjukkan kekuatan modal bisa mengubah wajah peradaban Batur ke depan. Mari kita jaga peradaban Batur ini, jangan sampai alamnya hancur,” jelasnya.
Di tengah diskusi, seorang peserta Bincang Pustaka juga menyampaikan kecemasan yang sama perihal keberlanjutan perabadan Batur ke depan. Salah satunya adalah Dosen FIASB UNHI, I Gusti Agung Paramita yang mengkhawatirkan akan terjadinya rarud kedua di Batur. Jika rarud pertama terjadi akibat bencana alam, rarud kedua bisa saja terjadi akibat bencana modal yang tidak terkendali masuk ke jantung peradaban Batur.
“Saya melihat kelahiran buku ini tidak hanya sebagai pangeling-eling terhadap peristiwa masa lalu yang dikenal dengan Rarud Batur, tetapi juga tercium aroma kecemasan melihat masa depan. Kian berubahnya lanskap Batur saat ini menunjukkan bahwa Batur tidak baik-baik saja. Arus modal kian kuat masuk ke Batur, bahkan bisa dikatakan tanpa kendali. Selain itu, perubahan cara berpikir masyarakat Batur juga bisa menjadi penyebab transformasi di Batur. Oleh sebab itu, diperlukan wacana kritis dari akademisi perihal yang terjadi di Batur, tidak sekadar mengangkat sistem nilai luhur saja. Batur mesti menjadi medan studi para akademisi UNHI. Kampus harus berperan aktif menjaga peradaban Batur, jangan sampai masyarakat Batur terasing bahkan rarud karena derasnya ekspansi modal,” tutupnya. (BC5)